Rabu, 26 Juli 2023

PERTEMPURAN LAUT JAWA

Lukisan pertempuran di Selat Banten saat USS Houston dan HMAS Perth berduel dengan kapal-kapal Jepang yang sedang mendaratkan pasukan di Merak.

 

Oleh Nino Oktorino 

 

Pertukaran tahun 1941 ke 1942 merupakan masa suram bagi kekuatan Sekutu di kawasan Asia Pasifik. Belum sampai sebulan pecah Perang Pasifik, mereka harus menderita pukulan berat di mana-mana. Kekalahan demi kekalahan dialami di berbagai medan, padahal kekuatan Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris, dibantu oleh Australia dan Belanda hanya menghadapi satu musuh, yakni Jepang. Keadaan dan jalannya peperangan sungguh tidak memberikan harapan cerah di masa dekat.

 

Gerakan Sapu Cepat

Pada tanggal 7 Desember 1941, Jepang melancarkan serangan mendadak terhadap armada Amerika yang sedang berlabuh di Pearl Harbor dengan menggunakan pesawat-pesawat terbang yang berpangkalan di atas kapal induk. Akibat pembokongan ini, boleh dikatakan Armada Pasifik  AS beserta kekuatan udaranya telah dilumpuhkan. Bencana di Pearl Harbor diikuti oleh pemboman terhadap Lapangan Terbang Clark di Pulau Luzon yang menghancurkan banyak pesawat terbang AS di landasan. Di Teluk Manila, pesawat-pesawat pembom Jepang meratakan Stasiun Angkatan Laut Cavite, pangkalan Armada AS di Asia.

Pada tanggal 10 Desember, sekali lagi terjadi bencana terhadap Angkatan Laut Sekutu. Setelah mendengar suatu konvoi Jepang melakukan pendaratan awal di Semenanjung Kra di pantai utara Malaya, Laksamana Sir Tom Phillips segera meninggalkan Singapura pada tanggal 8 Desember bersama kapal tempur Prince of Wales dan kapal penjelajah Repulse dengan tujuan menghancurkan sebanyak mungkin konvoi tersebut. Akan tetapi dua hari kemudian di sebelah timur Malaya, pesawat-pesawat terbang Jepang menyergap armada laut Inggris itu. Akibatnya Prince of Wales dan Repulse tenggelam. Bersama kapal-kapal perang tersebut ikut tenggelam 840 orang pelaut Inggris, termasuk Laksamana Phillips.

Kemenangan besar itu menjadikan Jepang kekuatan yang dipertuan di kawasan Pasifik tanpa lawan yang berarti di laut. Dengan tenggelamnya kedua kapal perang Inggris tersebut, praktis tidak ada lagi kapal perang besar Inggris atau AS di Samudera Pasifik dan Hindia. Angkatan Laut Jepang merajai ribuan mil laut tanpa ada yang menandinginya.

Terbentuknya Armada ABDA  

Tujuan perang Jepang ialah gerakan menyapu cepat untuk merampas negara-negara Asia Tenggara yang kaya bahan mentah, dari Malaya ke Hindia Belanda sampai ke Timor. Daerah-daerah yang merupakan jajahan Barat pada masa itu, menjadi tidak terlindung tanpa kapal perang. Jepang sendiri konon tidak menduga bahwa tujuannya sudah di dekat mata dan dapat dicapai semudah itu. Tetapi semuanya ini dimungkinkan oleh dua kemenangannya yang menentukan yang melumpuhkan kekuatan angkatan laut lawan sehingga mereka bisa melancarkan operasi pendaratan amfibi dengan aman sehingga gerak majunya di darat tidak dapat dihambat lagi.

Sebenarnya, beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Pasifik, yaitu pada bulan April 1941, telah diadakan usaha untuk mencapai suatu persetujuan internasional bila terjadi perang di Asia-Pasifik. Wakil-wakil AS, Inggris Raya, Belanda, Australia dan Selandia Baru berunding di Singapura. Konferensi ini tidak membuahkan hasil nyata, terutama disebabkan oleh pandangan yang berbeda-beda mengenai Singapura sendiri. Inggris telah mengeluarkan biaya sangat besar untuk membangun pangkalan militer dan angkatan laut, dan menganggapnya sebagai lambang kerajaan.

Sebaliknya, orang Amerika seperti Laksamana Turner sangat pesimis terhadap masa depan Singapura sebagai pangkalan strategis karena pertahanan daratnya sangat kurang sehingga Singapura tidak mungkin bertahan lama apabila terjadi perang dengan Jepang. Perbedaan pendapat sangat mengganggu kelancaran fungsi komando gabungan ABDA (American-British-Dutch-Australia) yang didirikan pada 15 Januari 1942, selama hidupnya yang hanya enam minggu itu. Orang Inggris ingin agar dikirimkan tentara lebih banyak lagi ke Singapura dan memakai armada gabungan untuk mengawal mereka. Belanda ingin mempertahankan wilayah jajahannya di Hindia sedangkan orang Australia  ingin mencegah invasi ke tanah airnya. Orang Amerika sendiri bermaksud menyusun kekuatan untuk merebut kembali kejayaannya setelah kekalahannya di pearl Harbor dan Filipina.

Tiga laksamana Sekutu, dari kiri ke kanan: Layton dari Inggris, Helfrich dari Belanda, dan Hart dari Amerika.

Laksamana C.E.L. Helfrich dari Belanda sepanjang peperangan yang berlangsung tiga bulan ini selalu mengeluh tentang koordinasi yang kurang antara kekuatan Sekutu yang memang membahayakan. Hal itu dikarenakan kondisi tersebut bukan saja akan membuat kekuatan mereka lemah di hadapan Jepang namun juga dapat menyebabkan saling tembak-menembak antar kesatuan Sekutu  karena tidak tahu identitas satu sama lain.

Memang, sebagai komando gabungan, ABDA merupakan pekerjaan tambal sulam. Kesulitan-kesulitan komunikasi dan bahasa tidak pernah terpecahkan. Tidak pernah dirancang suatu sistem isyarat gabungan. Panglima tertinggi ABDA, Marsekal Wavell, telah membuktikan kebolehannya sebagai panglima di Afrika, tetapi di sini dia gagal, seperti juga orang lain akan gagal dalam keadaan yang sama. Letnan Jenderal H. ter Poorten diangkat menjadi Panglima Gabungan Angkatan Darat, Laksamana Thomas. S. Hart menjadi panglima angkatan laut dan Marsekal Udara Sir Richard Peirse memegang komando angkatan udara.

Ibarat Belalai Dua Ekor Cumi-cumi

Dua gugus penyerang Jepang yang sangat kuat, di sebelah timur dipimpin oleh Laksamana Muda Takahashi, di sebelah barat di bawah Laksamana Madya Ozawa, terdiri dari kapal-kapal penjelajah berat dan perusak mengawal iring-iringan kapal pengangkut pasukan yang dibayangi oleh kapal-kapal induk pimpinan Laksamana Nagumo. Ini merupakan payung udaranya. Kekuatan penyerbu itu menerpa wilayah Hindia Belanda seperti belalai dua ekor cumi-cumi raksasa. Cumi yang di barat menuju Kalimantan Utara dan Sumatra melalui Laut Cina Selatan, yang di timur ke Kalimantan Timur, Sulawesi, Ambon, Timor dan Bali.

Pesawat-pesawat Jepang melancarkan serangan pengamanan terhadap tempat pendaratan, disusul oleh pasukan pendarat amfibi, kemudian membangun lapangan terbang baru sebagai pangkalan untuk menyerang sasaran berikutnya. Tidak ada yang dapat dilakukan Sekutu untuk mencegah berlangsungnya bencana mengerikan ini. Kapal-kapal selam AS dan Belanda menimbulkan kerusakan pada kapal-kapal Jepang, tetapi bagi mereka yang kekuatannya berlipat ganda, kerugian itu hanya dianggap gigitan nyamuk belaka.

Suatu skuadron kapal perusak AS menyerang pasukan pendarat Jepang di Balikpapan pada malam 23-24 Januari 1942, menenggelamkan empat kapal angkut dan sebuah kapal patroli, tetapi hal ini tidak mengganggu jadwal pendaratan. Pada 13 Februari, pesawat-pesawat terbang Jepang yang berpangkalan di Kendari menyerang Surabaya sehingga memaksa Laksamana Hart untuk menyingkirkan tender-tendernya ke Cilacap. Pada tanggal 15 februari, Singapura jatuh, suatu pukulan berat bagi Inggris seperti Pearl Harbor bagi AS.

Dengan tersingkirnya ancaman Sekutu dari Malaya, pasukan Jepang menuju Palembang di Sumatra, dan pada akhir bulan Februari, setengah dari persediaan minyak di Hindia Belanda berada di tangan Jepang. Tidak pelak lagi, bahwa seluruh daya upaya peperangan Jepang bergantung pada minyak dan bahan-bahan tambang yang vital. Kapal-kapal tanki diisi dari pelabuhan-pelabuahn minyak, dan dengan muatan yang demikian berharga kembali ke Jepang tanpa mengalami gangguan apapun. Tujuan utama pun telah tercapai.

Jawa menjadi sasaran yang berikut, tetapi sebelum sang cumi-cumi menjeratnya, dianggap penting untuk mengganggu komunikasi antara Jawa dengan Australia, dan terutama dengan Port Darwin yang merupakan pangkalan Sekutu. Pada 19 Februari, pesawat-pesawat terbang Jepang lepas landas dari empat kapal induk yang berada di Laut Timor dan menghantam geladak-geladak dan lapangan udara Port Darwin. Lapangan udara dihancurkan dan sebelas kapal ditenggelamkan dengan muatannya yang berharga. Sekitar 250 orang tewas dan Port Darwin mengalami kerusakan yang cukup parah.

Kini jalan menuju Jawa telah terbuka. Kekuatan-kekuatan Sekutu mencoba mencegah serbuan Jepang dengan suatu serangan pada malam hari di lepas pantai Bali, tetapi hanya mampu mengakibatkan kerugian yang tidak berarti bagi armada Jepang. Tidak sulit untuk membayangkan bahwa armada Sekutu sesungguhnya telah kepayahan karena harus terus-menerus di laut, dan memerlukan perbaikan-perbaikan serta bala bantuan, lagipula awak kapal pun membutuhkan istirahat. Efisiensi dari kekuatan-kekuatan ABDA menjadi semakin minim setelah mengalami kerusakan dan kekalahan akibat pemboman yang hampir selalu mengenai sasaran; tetapi pertempuran masih harus dilanjutkan.

ABDA direorganisasi

Dalam keadaan yang gawat itu, komando ABDA mengalami reorganisasi menyeluruh. Laksamana Hart meninggalkan Hindia Belanda dan menyerahkan pimpinan AL Sekutu kepada Laksamana Muda Helfrich. Laksamana Hart terlalu tua dan merasa bahwa dia bukan orang yang tepat sebagai panglima Armada ABDA.

Sebenarnya penggantian ini dilakukan atas desakan berulang-ulang dari fihak Belanda, yang sejak lama menghendaki pimpinan dipegang oleh seorang perwira Belanda. Belanda merasa dirugikan sebab menurut mereka pihak AS berperang tidak bersungguh hati melawan desakan Jepang. Sebaliknya AS tidak merasakan kepentingannya untuk berkorban lebih banyak lagi demi membela kepentingan tanah jajahan orang yang hampir bisa dipastikan akan dikalahkan.

Tetapi mutasi ini tidak banyak menolong. Semua kapal perang dan awaknya telah berjuang melampaui batas kemampuannya. Fasilitas perbaikan di Surabaya tidak mencukupi, di Cilacap hampir tidak ada, yang kini menjadi pangkalan armada Sekutu untuk menghindari serangan udara lawan. Wavell diperintahkan untuk pulang dan bertolak pada tanggal 25 Februari. Jenderal Brereton dari Pasukan Udara Angkatan Darat AS sudah berangkat terlebih dahulu, bersama dengan sebagian besar pesawat AS yang mengundurkan diri dari Filipina. Dalam kenyataannya ABDA sudah tidak ada lagi, yang ada hanya di atas kertas saja. Kini para perwira Belanda memegang pimpinan atas sisa-sisa tentara Sekutu yang masih tertinggal di wilayah ini.

Laksamana Madya Karel Doorman.

Laksamana Madya Karel Doorman kini menjadi panglima Satuan Gabungan Penyerang Sekutu yang berpangkalan di Surabaya. Satuan ini cukup berarti sebagai kekuatan tempur: penjelajah berat USS Houston dan HMS Exeter, penjelajah ringan HMAS Perth (Australia) dan HMS De Ruyter dan Java (Belanda) ditambah empat kapal perusak AS, tiga Inggris dan tiga Belanda. Namun sebagai kekuatan tempur seluruh kapal perang ini tidak cukup kuat untuk menghadapi serbuan Jepang. Lagipula mereka tidak pernah beroperasi bersama sebagai suatu tim.

Pertempuran Laut Jawa

Sementara itu, dua kekuatan pendaratan amfibi Jepang mendekati sasaran, 56 kapal pengangkut di bawah pimpinan Laksamana Madya Ozawa di sebelah barat dan 41 kapal di bawah Laksmana Madya Nishimura di sebelah timur. Satuan pendarat di sebelah timur yang diharapkan untuk disergap oleh Doorman karena diduga menuju Surabaya, dilindungi oleh kekuatan pendukung yang kuat di bawah Laksamana Takeo Takagi, yang di dalamnya termasuk penjelajah berat Nachi dan Haguro, dua skuadron kapal perusak dengan dua kapal penjelajah ringan, Naka dan Jintsu, sebagai kapal bendera di bawah Laksamana Madya Nishimura dan Tanaka.

Penjelajah Jepang membawa serta pesawat terbang pengapung yang bertugas sebagai pesawat pengintai. Adanya pesawat-pesawat terbang kecil ini menguntungkan pihak Jepang, sedangkan Doorman sama sekali tidak memiliki pesawat terbang. Dia meninggalkan pesawatnya di pelabuhan karena memperkirakan pertempuran akan terjadi pada malam hari. Ketika pertempuran terjadi, dia meminta bantuan udara dari darat. Panglima angkatan udara mengirimkan beberapa pesawat pembom ringan dan pemburu lalu mengadakan serangan sia-sia terhadap iring-iringan pengangkut Jepang.

Pada tanggal 27 Februari pukul 15.00, Laksamana Doorman membawa armadanya menuju Surabaya untuk beristirahat dan mengisi bahan bakar dan amunisi setelah sehari sebelumnya berpatroli secara sia-sia untuk menemukan konvoi pasukan pendarat Jepang dan diserang oleh pesawat terbang lawan.

Helfrich yang bermarkas di Lembang tidak mau mengerti. Dia memerintahkan agar satuan kapal itu terus menuju ke utara untuk menyongsong lawan. Doorman mengirimkan kawat kepada panglimanya yang mencerminkan seluruh gambaran di medan peperangan ini daripada laporan-laporan yang terperinci: "Hari ini para awak telah mencapai batas ketahanan mereka; besok batas itu akan terlampaui." Sekalipun diperintahkan dengan tegas oleh Markas Besar untuk melanjutkan operasi, Doorman tetap menuju ke pangkalan.

Namun ketika iringan kapal perang tersebut mulai memasuki alur perairan menuju pelabuhan yang bebas ranjau pada pukul 15.00, datang berita dari Rembang bahwa konvoi kapal musuh terlihat di sebelah utara Surabaya di sekitar Pulau Bawean. Helfrich memerintahkan mereka untuk menyerang musuh di sebelah timur Bawean. Kapal bendera De Ruyter yang ditumpangi Laksamana Doorman tiba-tiba memutar haluan ke arah utara sambil memberi isyarat: "Ikuti kami. Musuh sudah 90 mil di depan."

Laksamana yang epnat dengan kesatuannya yang kelelahan dan awak kapal yang sudah mendekati batas ketahanan mereka, tidak mempunyai pilihan lain kecuali keluar lagi dari perairan pelabuhan untuk menjumpai musuh dan bertempur habis-habisan. Sebagian besar perwira diam-diam menyadari apa yang akan terjadi dalam pertempuran yang menanti mereka.

Laksamana Doorman pun menyadari bahwa dia melakukan operasi bunuh diri. Tuturnya: "Beberapa jam lagi, aku akan menjadi makanan ikan."

Karena datangnya perintah yang tiba-tiba dari Markas Besar, Doorman tidak sempat merancang rencana pertempuran. Apalagi untuk membagikannya kepada kapal-kapalnya. Di samping itu terjadi kekacauan dan kelambatan karena setiap isyarat harus diterjemahkan. Konon, satu-satunya isyarat yang pernah diterima oleh kapal lain dari panglimanya hanyalah: "Kami menyerang. Ikutilah kami."

Tujuan Doorman cukup sederhana, dia berusaha menghindari kapal-kapal perang Takagi untuk menghancurkan kapal-kapal angkut yang berjajar di sebelah utara. Di pihaknya, Takagi tentunya berusaha untuk mencegah hal ini dan melapangkan jalannya pendaratan ke Jawa.

Susunan tempur pihak Sekutu adalah sebagai berikut: di baris terdepan tiga perusak Inggris, yaitu Encounter, Electra dan Jupiter; di belakangnya adalah De Ruyter (kapal bendera Doorman), diikuti oleh Exeter, Houston, Perth dan Java, dua kapal perusak Belanda, Witte de With dan Kortenaer, di sayap kiri; serta empat kapal AS, John D. Edwards, Alden, John D. Ford dan Paul Jones di belakang.

Armada Sekutu itu dipergoki oleh armada Jepang pimpinan Laksamana Tagaki yang terdiri atas empat kapal penjelajah dan 13 kapal perusak yang melindungi pasukan penyerbu pada pukul 16.15. Takagi, yang biasanya terlalu berhati-hati, kini meninggalkan kebiasaannya itu dan memerintahkan kapal-kapalnya untuk menembaki musuh ketika mereka telah memasuki jarak tembak 28.000 yard dari kapal penjelajah berat Nachi dan Haguro.

Kemudian kapal-kapal Jepang dengan cepat melakukan pengepungan dan menembakkan 43 torpedo, tetapi semuanya berhasil dihindarkan. Kedua lawan itu berlayar ke arah barat dengan kecepatan 25 knot sambil menembaki, tetapi tidak ada yang kena.

Laksamana Nishimura.

Pada pukul 17.08, Exeter terkena tembakan meriam kaliber delapan inci sehingga kecepatannya berkurang dan keluar dari garis pertahanan. Houston, Perth dan Java mengira bahwa Doorman memerintahkan untuk berbelok ke kiri (mereka tidak dapat melihat kapal panglima karena asap pertempuran) sehingga  mengikutinya. De Ruyter pun berbuat hal yang sama. Akibatnya, satuan kapal perang Sekutu menjadi tercerai-berai dalam pola yang tidak beraturan di tengah medan tembak torpedo Tanaka. Laksamana Jepang itu memanfaatkan kesempatan ini tanpa ayal lagi. Pada pukul 17.15, Kortenaer tertembak, meledak, pecah menjadi dua, lalu tenggelam.

Satu jam kemudian giliran Electra yang tenggelam setelah berhasil mengenai Jintsu. Jupiter dengan terseok-seok mundur dari pertempuran. Kapal tersebut segera diikuti oleh Exeter yang diperintahkan kembali ke pangkalan oleh Doorman dengan pengawalan Witte de With. Dalam situasi yang sangat berbahaya ini skuadron Sekutu menuju ke selatan dan malam pun tiba.

Houston ditemani oleh Perth, berusaha menuju ke Batavia di bawah perlindungan kegelapan. Berjuang untuk berlabuh, Jupiter yang rusak berat meledak sekitar empat mil jauhnya dari pantai. Kapal tersebut memasuki ladang ranjau yang dipasang sebelumnya oleh AL-nya sendiri. Exeter dan Witte de With lebih beruntung. Pada pukul 23.00, keduanya dengan selamat bersandar di Pelabuhan Surabaya dan menyiapkan kembali kedua kapal tersebut untuk bertempur lagi.

Laksamana Doorman, di atas De Ruyter, diiringi oleh Java, membuntuti konvoi lawan. Beberapa saat menjelang tengah malam, mereka berhadapan dengan dua kapal penjelajah dan beberapa kapal perusak milik Jepang.

USS Houston dan De Ruyter dihujani tembakan kapal-kapal perang Jepang di lepas pantai Kangean, 4 Februari 1942, 


Pada jarak 8.000 yard, kapal-kapal Belanda itu hancur terbakar oleh tembakan-tembakan meriam dan torpedo musuh. Java tenggelam dalam 15 menit, De Ruyter mengalami nasib yang sama tiga jam kemudian, dengan membawa seorang panglima, yang seperti dikatakan seorang perwira AS yang berduka cita, memiliki "lebih banyak keberanian daripada otak."

Houston dan Perth, yang lolos setelah Pertempuran Laut Jawa, tidak pernah mencapai Batavia. Mereka dipergoki oleh Jepang di Selat Sunda dan ditenggelamkan pada dini hari tanggal 1 Maret.

Bencana berlanjut. Exeter yang telah mengalami kerusakan diiringi oleh kapal perusak Encounter dan Pope mencoba untuk meloloskan diri ke arah barat. Karena kelihatan, akhirnya disergap oleh empat kapal penjelajah Jepang, ketiganya pun tenggelam pada tengah harinya.

Foto udara Jepang yang menampakkan tenggelamnya Exeter


Di selatan Jawa, Langley (kapal induk pertama AS), yang membawa pesawat-pesawat pemburu dari Australia, diserang oleh pesawat-pesawat pembom musuh yang berpangkalan di Bali sehingga tenggelam. Nasib yang sama dialami oleh kapal tanki Pecos, yang membawa para korban yang selamat dari Langley, beserta kapal Pillsbury dan Edsall.

Hanya dalam waktu tiga hari saja, angkatan laut dan pasukan udara Jepang telah menghancurkan lebih banyak kapal Sekutu daripada yang mereka capai di Pearl Harbor. Di dasar perairan tenang Laut Jawa yang menipu, bersemayang bangkai lima kapal penjelajah, tiga belas kapal perusak Sekutu beserta mayat ribuan perwira dan pelautnya. Sebaliknya, Jepang tidak kehilangan satu pun kapalnya. Kerugian yang dideritanya hanyalah kerusakan yang tidak berarti pada sebuah kapal perusak.

"Angkatan Laut Jepang," demikian pernyataan ahli taktik dari Departemen Seni dan Sejarah Militer di Akademi Militer AS, "membuktikan dengan meyakinkan bahwa mereka bukanlah Angkatan Laut bak mandi."

Pertempuran di Laut Jawa ini menentukan sekali, walaupun apabila dilihat dalam kerangka Perang Dunia II hampir sama sekali tidak disebut-sebut. Kapal-kapal Belanda hampir semuanya tenggelam dan kekuatan Angkatan Laut Belanda selama Perang Dunia II tidak berarti lagi atau hampir tidak ada lagi. Tentu hal ini pada tahun 1945 merupakan sesuatu yang amat penting. Apabila ada Angkatan Laut Belanda maka mungkin sekali Helfrich maupun perwira-perwira Belanda lainnya akan mencoba menduduki kota-kota penting di Indonesia sebelum Sekutu mendarat untuk mencoba mendirikan lagi kewibawaan Hindia Belanda. Namun kejayaan Belanda telah berakhir pada tanggal 27 Februari  pukul 23.30, karena seperti yang kita lihat, kapal-kapal Sekutu yang tenggelam itu sebagian besar merupakan kapal Belanda. Pengorbanan para pelaut Belanda dan Sekutu lainnya dalam Pertempuran di Laut Jawa paling banyak hanya menunda tujuh jam pendaratan Jepang di Pulau Jawa. Hanya seminggu lebih sedikit, semua perlawanan di Hindia Belanda runtuh dan wilayah jajahan Belanda yang kaya itu beralih tangan ke pihak Jepang.

Akibat dari kekalahannya itu, Belanda kehilangan mahkota jajahannya. Dengan demikian berakhirlah era kolonial Belanda dalam sejarah Indonesia. Dalam pemeo orang Belanda pada masa itu terkenal ucapan: "Indie verloren, ramspoed geboren". Artinya, "Hindia Belanda hilang, bencana datang."

Akan tetapi pemeo itu bagi bangsa Indonesia bisa diubah dengan kalimat lain sebagai berikut: "Indie verloren, Indonesia geboren"—atau "Hindia Belanda hilang, Indonesia lahir." Hal ini baru terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

"Chilla Goodchap: Kapal Kami Terkena Empat Torpedo". Suara Pembaruan, 2 Maret 1992.

"Laut Jawa 1942". TSM No. 6 Tahun I/1987.

"Komando ABDA". Intisari, Februari 1982.

Nino Oktorino, Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013

Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia, 1989.

The Navy Times (ed.), Operation Victory: Winning the Pacific War. New York: G.P. Putnam's Sons, 1968.

"Peringatan 50 Tahun Pertempuran Selat Sunda Berlangsung Unik." Suara Pembaruan, 2 Maret 1992.

"Pertempuran Laut Jawa 40 Tahun yang Lalu". Intisari, Februari 1982.

"Sekali Kalah dalam Pertempuran di Laut Jawa, Belanda Kehilangan Hindia Belanda". Buana Minggu, 27 Februari 1992.

Soetanto, Himawan, "Akhirnya Penyerangan ke Pulau Jawa". TSM, No. 63 Tahun VI September 1992.

Soetanto, Himawan, "Setengah Abad Hindia Belanda Menyerah kepada Jepang." Suara Pembaruan, 7 Maret 1992

Wheeler, Keith, dkk., Perang di Kedalaman Pasifik. Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya. Jakarta: PT Tira Pustaka, 1986.  

 

 

Temukan kisah lebih lengkap tentang Pertempuran di Luat Jawa dalam buku:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar