Selasa, 21 Januari 2014

Enam Hari yang Mengguncang Dunia



Mei 1967, Timur Tengah kembali memanas ketika Presiden Nasser dari Mesir mengusir pasukan penjaga perdamaian PBB yang telah menjaga perbatasan Mesir dan Israel sejak tahun 1957 dan mengirim sejumlah besar pasukan ke Sinai. Tindakan keras Nasser tersebut disambut gembira oleh bangsa Arab, yang percaya bahwa waktunya telah tiba untuk menyingkirkan Israel, negeri Zionis yang didirikan dengan mencaplok sebagian Palestina. Namun, antusiasme mereka segera dibungkam oleh sebuah bencana yang ternyata jauh lebih besar daripada kekalahan pada tahun 1948.

Enam Hari yang Mengguncang Dunia menceritakan salah satu peperangan yang paling berhasil serta menentukan dalam sejarah modern. Sebuah kisah tentang kepahlawanan dan tragedi dalam peperangan berlarut-larut antara bangsa Arab dan Israel yang menimbulkan dampak traumatis dan konflik tiada ujung hingga masa kini.

 

Judul                : Enam Hari yang Mengguncang Dunia
Penulis             : Nino Oktorino
Editor               : Eko Nugroho
No. ISBN         : 9786020230542
Penerbit          : PT Elex Media Komputindo
Jumlah Hlm.   : 160
Tahun Terbit  : 2014

Selasa, 07 Januari 2014

PERSEKUTUAN YANG ANEH: Kisah Para Sukarelawan Asia dalam Tentara Hitler

Letnan Jenderal Heinz Hellmich, kepala Ostruppen, menginspeksi sebuah batalyon Turkistan.


Keberadaan orang-orang Asia dalam barisan tentara Nazi Jerman merupakan salah satu peristiwa ganjil dalam Perang Dunia II. Pasalnya, kaum Nazi sangat meyakini superioritas rasial dari ras Nordik-Arya. Pandangan tersebut tentu saja berakibat bahwa ras lainnya hanyalah kelompok manusia rendahan yang bisa ditindas atau disingkirkan sesuka hati mereka. Akan tetapi karena dalam politik tidak ada lawan maupun kawan abadi, maka demi tujuan mereka sendiri kaum Nazi dan sejumlah orang Asia mengikat diri dalam suatu persekutuan yang aneh. Inilah kisahnya.

Singa Gurun Pasir
Timur Tengah secara geografis dan historis selalu bersinggungan dengan Eropa. Ketika Perang Dunia I berakhir, wilayah tersebut diliputi oleh ketegangan akibat dipecah-belahnya Dunia Arab ke dalam wilayah pengaruh Inggris dan Prancis serta ancaman kaum Zionis yang hendak mendirikan kembali negara Israel di Palestina. Karenanya bukanlah hal yang mengherankan apabila Nazi Jerman berusaha mengambil keuntungan dari situasi ini.

Sikap permusuhan Nazi terhadap Sekutu dan kaum Yahudi mendapatkan banyak dukungan di kalangan politisi Arab. Segera partai-partai yang bergaya dan mendukung Nazi muncul di Dunia Arab. Hisb-el-Qaumi-el-Suri, atau Partai Nasional Sosialis, adalah partai tiruan Nazi di Syria. Partai yang memiliki  bendera dengan lambang swastika di atas warna hitam-putih ini memimpikan suatu negara Syria Raya yang meliputi wilayah antara Sungai Eufrat di utara dan Terusan Suez di selatan, termasuk Pulau Siprus. Di kalangan anggotanya, Adolf Hitler dikenal sebagai “Abu Ali”.

Pemimpin Persaudaraan Muslim di Mesir, Hassan al-Bana, juga pengagum Mussolini maupun Hitler. Bahkan propaganda gerakan tersebut berusaha menarik dukungan bagi pihak Poros dari kalangan rakyat Arab dengan menyebarkan isu bahwa Mussolini sebenarnya adalah seorang Muslim Mesir bernama Musa Nilli (Musa dari Sungai Nil), dan bahwa Hitler telah masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Hayder (si pemberani).

Akan tetapi tokoh Arab yang paling berhasil dalam menjalin hubungan dengan pihak Poros adalah Mufti  Besar Yerusalem, Haji Amin el Husseini. Lari dari tanah kelahirannya di Palestina setelah memberontak terhadap penguasa Inggris, Husseini melakukan intrik di Irak untuk membawa negeri 1001 malam itu memihak kekuatan Poros. Akan tetapi upayanya gagal karena Inggris menggulingkan pemerintahan pro Poros pimpinan Rashid Ali di Baghdad sehingga dia mencari perlindungan  ke Berlin.

Hitler sebenarnya memandang rendah orang Arab, yang digambarkannya sebagai “makhluk berkilap setengah kera yang harus dicambuk”. Akan tetapi pandangannya berubah ketika dia bertemu dengan sang mufti. Dengan rambut merah dan mata birunya, sosok sang mufti membuat Hitler—dengan segala kegilaannya tentang ras unggul yang berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru—berkomentar: “Dia memberikan kesan seorang manusia yang leluhurnya lebih dari satu orang Arya dan mungkin berasal dari darah terbaik orang Romawi” (Hitler menganggap orang Yunani dan Romawi kuno sebagai leluhur Arya orang Jerman). Hal tersebut maupun fakta bahwa keduanya memiliki musuh bersama membuat Hitler dan sang mufti sepakat untuk bekerja sama.
 
 Mufti Besar Yerusalem dan Adolf Hitler

Atas persetujuan Hitler, sebuah pemerintahan Pan Arab yang membawahi 400 juta orang Arab—paling tidak di atas kertas—dibentuk di Berlin, di mana Husseini menjadi “perdana menterinya”. Dengan dana dan dukungan kaum Nazi, Husseini menyampaikan propaganda lewat radio untuk mendorong orang Arab maupun kaum Muslim di seluruh dunia untuk mendukung pihak Poros. Dia juga membantu Hitler untuk merekrut para sukarelawan Muslim dari Balkan dan Uni Soviet ke dalam Tentara Jerman.

Husseini juga berusaha membentuk sebuah “Legiun Arab” yang akan bertempur bersama-sama orang Jerman untuk membebaskan seluruh Tanah Arab. Meskipun Hitler menyetujui rencana tersebut pada bulan Januari 1942 akan tetapi rencana tersebut tidak berjalan mulus karena pemerintah Vichy Prancis yang pro Jerman menolak izin perekrutan orang Arab dari wilayah jajahannya di Afrika Utara. Namun yang lebih menentukan adalah kekalahan Jerman di El Alamein yang bukan hanya menghilangkan ancaman Jerman di Timur Tengah namun juga melenyapkan kesempatan bagi Husseini untuk melakukan parade kemenangan di Yerusalem dan menarik pengikutnya untuk bergabung dalam jumlah besar di pihak Poros. Akibatnya “Legiun Arab” yang dimaksudkan Husseini tidak lebih di atas kertas saja dan tidak pernah berkekuatan lebih dari 5.000 orang.

Seorang perwira Jerman dan sukarelawan Arab di Tunisia.

Kebanyakan anggota dari legiun sang mufti berasal dari tawanan perang Arab yang sebelumnya berdinas dalam tentara kolonial Prancis dan Inggris serta dari unit-unit pekerja asing. Mereka cenderung sangat melek dalam hal politik dengan kesetiaan kepada sang mufti atau saingannya, Rashid Ali, yang juga mengasingkan diri di Berlin. Beberapa di antara prajurit Arab ini dikirim ke Kaukasus untuk mengantisipasi suatu terobosan Jerman melalui wilayah tersebut ke Timur Tengah, namun tidak pernah terlibat pertempuran di sana. Sejumlah orang lainnya dikirim ke Tunisia pada tahun 1943 untuk memperkuat beberapa batalyon Arab yang lemah, yang dibentuk untuk tugas-tugas penjagaan maupun kerja kasar. Yang lainnya dilatih sebagai penyabot di Belanda oleh Otto Skorzeny yang terkenal. Batalyon Infanteri Arab-Jerman ke-845 bertugas di Yunani untuk menjaga keamanan dan memerangi kaum partisan. Sejumlah kecil di antara mereka kemudian berpartisipasi dalam mempertahankan Berlin menjelang berakhirnya perang. 


Demi Turki Raya
Dibandingkan upayanya untuk merekrut orang Arab, upaya Husseini untuk menarik dukungan kaum Muslim bagi Hitler jauh lebih berhasil. Di antara para sukarelawan Muslim yang menanggapi seruan Husseini itu terdapat kaum Muslim Soviet yang berasal dari Asia Tengah.

Seperti yang kita ketahui, (eks) Uni Soviet adalah sebuah kemaharajaan raksasa yang meliputi Eropa Timur serta Asia Utara dan Tengah dan terdiri atas berbagai kelompok etnik dan agama, yang didominasi oleh orang Rusia. Orang Rusia, dalam wujud terakhirnya rezim Soviet, telah menghancurkan kemerdekaan Turkestan yang singkat setelah keruntuhan ketsaran Rusia pada tahun 1924. Ketegangan etnik tersebut tidak pernah surut, dan saat Jerman menyerbu Uni Soviet pada bulan Juni 1941, mereka menemukan ribuan tawanan perang Soviet asal Asia Tengah yang sangat ingin bergabung dengan Jerman untuk melawan  pemerintahnya.

Wajah-wajah Asia Mongoloid yang menjadi anggota Legiun Turkistan

Hitler, yang  ingin menarik Turki yang netral untuk bergabung dengan Poros Roma-Berlin-Tokyo, menampung aspirasi mereka. Alasannya, karena orang-orang Asia Tengah itu umumnya beragama Islam dan termasuk keturunan Turki, maka diktator Jerman itu berharap dapat mempengaruhi Turki untuk kembali bersekutu dengan Jerman seperti yang dilakukannya dalam Perang Dunia I. Sebagai alat propaganda, Nazi menjanjikan bahwa para sukarelawan Asia Tengah itu akan digunakan untuk membebaskan tanah airnya dan membantu pembentukan sebuah negara Pan Turki  sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pengikut Turanisme yang menginginkan  pembentukan sebuah Turki Raya yang menaungi semua orang berdarah Turki.

Walaupun Turki tidak terpengaruh oleh bujukan Jerman itu dan tetap netral hingga akhir perang, rencana Hitler untuk membentuk formasi militer yang terdiri atas orang-orang Asia Tengah tetap berjalan. Hasilnya adalah Legiun Turkestan, yang terdiri atas para sukarelawan Turkoman, Uzbek, Kazakh, Kirghiz, Karakalpak dan Tajik. 

Pada bulan Januari 1944, Heinrich Himmler, dengan dukungan Mufti Agung Yerusalem, membentuk Osttuerkischen Waffen-Verbaende der SS (Formasi Turki Timur Waffen SS) yang beranggotakan kaum Muslim dari Asia Tengah, Kaukasus serta  Krimea dan dipimpin oleh seorang perwira Austria yang masuk Islam, Harun el Raschid Bey. Pembentukan unit ini nampaknya dikarenakan pemimpin SS itu terkesan oleh dongengan mengenai keberanian orang Turkestan. Sayangnya, unit tersebut tidak memenuhi harapan Himmler karena terus-menerus didera masalah akibat rendahnya disiplin dan moral dari para anggotanya. Akibatnya mereka dicatat sebagai sebuah unit kelas tiga, yang hanya bagus untuk tugas-tugas keamanan ataupun penjagaan.

Macan Kertas
Kelompok Asia lainnya yang terbuka bagi suatu persekutuan dengan Kerajaan Ketiga adalah orang India. Negeri anak benua itu telah bergolak selama bertahun-tahun sebelum pecahnya Perang Dunia II untuk meraih kemerdekaan dari Inggris. Dengan demikian adalah suatu hal yang logis apabila Nazi berusaha untuk mengambil keuntungan dari sentimen anti-Inggris ini dengan berusaha merekrut sebuah formasi militer yang terdiri atas para tawanan perang India yang ditangkap saat bertugas dengan Tentara Persemakmuran Inggris di Afrika Utara.

Otak di balik rencana ambisius Jerman ini adalah Subhas Chandra Bose, seorang pengacara dari Kalkuta dan bekas presiden Kongres Nasional India serta saingan utama Mahatma Gandhi dalam memperebutkan kepemimpinan gerakan nasionalis India. Akan tetapi, tidak seperti Gandhi, Bose tidak segan-segan untuk menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan kemerdekaan India. Menggunakan pepatah lama “musuh musuhku adalah kawanku”, Bose melihat perang antara Inggris-Jerman sebagai kesempatan untuk mendorong kemerdekaan India.

Untuk merealisasikan rencananya, pada bulan Januari 1941 Bose meloloskan diri dari tahanan rumahnya di Kalkuta dan lari ke Berlin. Tidak lama setelah kedatangannya di ibukota Jerman itu, Bose mengangkat dirinya sebagai Netaji, atau Fuehrer, dari Pemerintahan India Merdeka dan mulai menyiarkan hasutan lewat radio Jerman untuk mendorong rakyat India memberontak terhadap penguasa Inggris. Namun Bose juga menginginkan pembentukan sebuah legiun India yang dipersenjatai Jerman. Menurut impiannya, legiun tersebut akan menjadi barisan terdepan Jerman yang menusuk Kaukasus. Dari sana, Legiun India akan bergerak memasuki Iran, Afghanistan dan kemudian membebaskan tanah airnya.

Direkrut dari bekas tawanan perang dan penduduk sipil India yang bermukim di Jerman, Legiun India Merdeka secara resmi didirikan pada bulan Desember 1942. Tidak seperti kebiasaan yang dipraktekkan Inggris dalam Tentara India, legiun yang disponsori Jerman ini tidak mengenal pembedaan agama ataupun daerah asal anggotanya. Hal ini tidak terlepas dari sikap Bose, yang meskipun secara pribadi sangat religius namun tidak mau menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk tujuan politik. Hasilnya, dalam legiun tersebut orang Muslim, Hindu, Sikh, Jain, Jat, Rajput, Maratha dan Garwali bisa berjuang bersama-sama. Kekompakan tersebut bisa dilihat ketika kaum Muslim India menentang upaya pemimpin SS Himmler untuk memindahkan mereka   ke dalam sebuah divisi SS yang beranggotakan kaum Muslim Bosnia. Orang-orang tersebut menolak mentah-mentah rencana tersebut karena “menganggap dirinya terutama sebagai orang India, sedangkan orang Bosnia sebagai orang Eropa.”

Anggota Legiun India berparade di hadapan S.C. Bose dan komandan legiun, Letnan Kolonel Krappe.

Akan tetapi ada juga hal yang ironis dari legiun yang nasionalis ini. Walaupun secara resmi bahasa yang dipakai adalah Hindi, namun karena banyak anggotanya yang tidak berasal dari daerah berbahasa Hindi maupun fakta bahwa Jerman nyaris tidak memiliki personel yang bisa berbahasa tersebut sebagai penghubung, akhirnya legiun tersebut lebih mengandalkan bahasa Inggris sebagai bahasa penghubung.

Dalam perjalanan hidupnya, legiun berlambang macan Bengali ini tidak pernah memenuhi harapan pendirinya. Kekalahan Jerman di Rusia menggagalkan rencana Bose untuk kembali ke tanah asalnya melalui kekuatan militer Nazi sehingga dia kemudian pergi ke Asia untuk membentuk tentara India lainnya di bawah sponsor Jepang. Pada tahun 1944, legiun yang ditinggalkannya di Eropa kemudian digabungkan ke dalam Waffen SS. Hingga berakhirnya perang, unit tersebut  hanya bertugas sebagai garnisun penjaga maupun sebagai bahan propaganda yang nilai maupun pengaruhnya bisa dipertanyakan.

Kebanyakan perwira senior Jerman memandang rendah Legiun India ini. Sikap menghina Hitler terhadap unit itu maupun sikap rasisnya terlihat pada pernyataannya menjelang akhir perang. “Legiun India hanyalah sebuah lelucon,” demikian katanya, “Ada orang India yang tidak bisa membunuh seekor kutu dan lebih memilih diri mereka dibinasakan. Mereka tentu saja tidak akan mau membunuh orang Inggris….Saya bisa membayangkan bahwa apabila seseorang menggunakan orang India untuk berdoa terus-menerus ataupun hal lain yang sejenis, mereka akan menjadi prajurit yang paling tidak terkalahkan di dunia. Namun adalah hal yang konyol untuk mengerahkan mereka ke dalam suatu perjuangan berdarah yang nyata…”

Epilog
Menyerahnya  Jerman pada bulan Mei 1945 mengakhiri persekutuan yang aneh antara kaum nasionalis Asia dan kaum rasialis Nazi Jerman. Berakhirnya perang membuat orang-orang Asia yang bekerja sama dengan Nazi harus berhadapan dengan tuduhan berkhianat terhadap pemerintah masing-masing.

Nasib paling buruk menimpa para sukarelawan yang berasal dari Uni Soviet. Setelah perang mereka dikembalikan ke negerinya, di mana banyak di antara mereka yang kemudian dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi. Sisanya dicampakkan ke kamp-kamp kerja paksa di Siberia, yang sama artinya dengan mati perlahan-lahan.

Orang India bernasib lebih baik. Menjelang berakhirnya perang, Legiun India berusaha meloloskan diri melalui celah pegunungan Alpen untuk mencari suaka politik di Swiss. Akan tetapi mereka dicegat dan dipaksa menyerah oleh pasukan Amerika dan Prancis di Bodensee. Mereka kemudian digelandang ke kamp-kamp tawanan dan akhirnya dipulangkan ke India, di mana Pemerintah Inggris berusaha mengadili mereka bersama-sama rekan-rekannya yang berdinas di bawah sponsor Jepang. Akan tetapi tekanan dari kaum nasionalis India dan mendekatnya kemerdekaan negeri tersebut akhirnya membuat Inggris membatalkan tuntutannya dan para tertuduh dibebaskan.

Nasib para sukarelawan Arab lebih kabur. Namun nampaknya sebagian besar di antara mereka berhasil meloloskan diri dari jeratan hukum pihak Sekutu dan kembali ke tanah airnya masing-masing atau tetap tinggal di Eropa.

Lalu bagaimanakah nasib para tokoh Asia yang mendalangi persekutuan antara Timur dan Barat itu?

Setelah kembali ke Asia, Bose nyaris merealisasikan impiannya dengan memimpin sebuah tentara India yang dipersenjatai Jepang memasuki tanah airnya melalui Myanmar pada musim panas 1944. Akan tetapi mereka kemudian ditahan di Imphal oleh Tentara India Inggris dan dihalau kembali ke Myanmar. Ketika Jepang menyerah, Bose berusaha kabur ke Uni Soviet. Akan tetapi pesawat terbang yang ditumpanginya jatuh terbakar. Bose sendiri tewas dalam kecelakaan tersebut.

Nasib Haji Amin el Husseini lebih baik darinya. Pada akhir perang Mufti Besar Yerusalem itu tertangkap oleh pasukan Prancis. Pada mulanya banyak orang yang mengira bahwa dia akan diadili bersama para pemimpin Nazi lainnya di Nuremberg dengan dakwaan terlibat dalam pembantaian terhadap orang Yahudi di Eropa maupun menjadi otak perekrutan kaum Muslim dalam Tentara Hitler. Akan tetapi baik Prancis maupun Inggris, yang  tidak mau membuat masalah dengan kaum Muslim yang berada di wilayah jajahan mereka, membiarkan sang mufti meloloskan diri ke Timur Tengah. Dia kemudian memimpin kembali perjuangan orang Arab Palestina yang menentang pembentukan negara Israel. Sayangnya, cap kolaborator Nazi yang melekat pada dirinya menurunkan dukungan banyak negara terhadap orang Palestina. Kalah dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 serta keterlibatannya dalam pembunuhan Raja Abdullah dari Yordania akhirnya membuat Husseini tersingkir dari panggung politik. Dia kemudian mengasingkan diri ke Lebanon dan meninggal di Beirut pada tahun 1974.


Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia


Judul                : Ensiklpedi Pendudukan Jepang di Indonesia
Penulis             : Nino Oktorino
Editor               : Eko Nugroho
No. ISBN         : 9786020228723
Penerbit          : PT Elex Media Komputindo
Jumlah Hlm.   : 152
Tahun Terbit  : 2013



Buku ini memberikan informasi lengkap mengenai zaman pendudukan Jepang di Indonesia. Di antara hal-hal yang tercantum di dalamnya adalah:

* Ikhtisar sejarah pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945);
* Tokoh-tokoh Indonesia, Jepang, dan Sekutu yang memainkan peranan penting   selama kurun waktu pendudukan Jepang di Indonesia;
* Peristiwa-peristiwa penting di seputar zaman pendudukan Jepang di Indonesia;
* Berbagain instansi dan organisasi bentukan Jepang di Indonesia;
* Perlawanan Indonesia;
* Kejahatan perang Jepang di Indonesia.

Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bahan berharga bagi para pelajar maupun khalayak umum yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai salah satu periode penting yang membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia ini.