Rabu, 26 Juli 2023

MARSOSE DI MALAKA: Sebuah Aksi yang Terlupakan



Sebuah patroli Marsose di Aceh: Ikut bertempur di Malaya selama awal Perang Pasifik.


Korps Marechaussee te Voet, atau Marsose, adalah sebuah jawatan elite KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda)  yang dibentuk untuk tugas-tugas pengamanan dan kontra-gerilya di Hindia Belanda pada masa kolonial. Namun, mereka juga pernah ditugaskan di luar negeri, yaitu di Malaya pada masa Perang Pasifik. Bertempur dengan gagah berani, salah satu di antara mereka kemudian mendapatkan sebuah medali militer tertinggi Belanda, 

Pasukan Ekspedisi Belanda di Malaya

Penugasan Marsose ke Malaya diambil oleh Belanda sebagai penerapan kebijakan pemerintah kolonial untuk mempertahankan "Hindia Belanda seutara mungkin." Sejak awal abad ke-20 sendiri, Belanda mengandalkan Inggris untuk menjadi perisai pertahanan kepulauan Indoaesia dari ancaman yang datang dari utara, terutama ambisi ekspansionis Jepang. 

Setelah penenggelaman kapal tem­pur HMS Prince of Wales dan kapal pen­jelajah HMS Repulse dan pendaratan Jepang di Malaya pada bulan Desember 1941, Batavia, atas permintaan Inggris, mengirim­kan kesatuan-kesatuan tambahan untuk memperkuat pertahanan Semenanjung Malaya guna mempertahankan Hindia Belanda se­utara mungkin. Perkembang­an itu me­nyebabkan dua per tiga dari kekuatan pesawat pembom dan seper­empat pe­sawat pemburu milik ML-KNIL (Militaire Luchtvaart van het Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, atau Pasukan Udara KNIL) ber­ada di bawah komando tak­tis Koman­do Timur Jauh RAF yang dipusatkan di Palembang dan Pekan­baru. Selain itu, MLD  (Marineluchtvaartdienst, atau Jawatan Penerbangan Angkatan Laut) mendapat­kan tanggung jawab untuk mengawasi wilayah perairan dari Kuantan, Natuna Besar hingga Kuching. 

Pada bulan Desember 1941, sekitar 100 orang prajurit Marsose dari Aceh, yang disusun dalam empat brigade, di­kumpulkan di Medan. Pada tanggal 14 dan 15 Januari, detasemen yang di­pimpin oleh Kapten T.J.W.F.M. Supheert ini diter­bangkan ke Si­ngapura. Detase­men yang terlatih da­lam perang di hutan tersebut kemudian di­kirimkan ke Labis, Johor Utara, untuk menggang­gu garis komunikasi Jepang di sekitar ko­ta Ajer Panas. 

Memecundangi Pasukan Jepang

Sekalipun prajurit Jepang telah ber­pengalaman dalam perang modern di China, mereka—sebagaimana ditemu­kan oleh Supheert—bukannya tidak ter­kalahkan. Selain itu, berlawanan de­­ngan mitos yang diyakini oleh pasu­kan Sekutu, serdadu Jepang pun bukan prajurit terlatih dalam perang di hutan. Dalam la­poran tempurnya, Supheert menulis: "Karena pasukan Jepang dianggap sebagai petarung hebat, aku kemudian berusaha menghindari mereka. Namun, ternyata hal itu kemudian tidak diperlukan. Aku hanya perlu bergerak beberapa ratus me­ter dari jalan. Orang Jepang tidak masuk ke hutan, paling-paling mereka ber­pat­roli dengan sepeda yang dapat mele­wati hutan karet."
Pasukan bersepeda Jepang: Menjadi bulan-bulanan Marsose Belanda di Malaka.


Selama paruh kedua bulan Januari, pasukan Supheert tercatat berhasil me­newaskan banyak prajurit Jepang dan menimbulkan kerusakan material di ga­ris belakang musuh. Sebagian keber­hasilan ini diperoleh berkat dukungan penduduk Tionghoa setempat. Namun, mereka kemudian kekurangan bahan pangan dan mengalami kesulitan dari kelompok-kelompok penduduk Me­layu lokal yang anti-Inggris. 

Ketika Singapura jatuh, Supheert me­­mutuskan untuk membawa pasukan­nya kembali ke Sumatra. Ia kemudian memimpin sebuah patroli pengintai ke wilayah pantai Mesigit di Aceh untuk melaporkan keadaan pasukannya di Ma­­laka kepada asisten residen. Setelah itu, ia mengirimkan kembali salah satu anak buahnya yang terpercaya, Prajurit E. Isaac Irot,  ke Malaka untuk memba­wa pulang sisa-sisa detasemennya. 

Lolos dari Malaya

Prajurit kelahiran Menado tahun 1913, Irot adalah seorang prajurit bermental baja. Membawa sebuah sampan, Irot berhasil menerobos penjagaan pantai Jepang di Malaya dengan menya­mar sebagai seorang nelayan dan kemu­dian bersepeda untuk mendapatkan ke-28 orang rekannya yang tersisa. Ia kemudian memimpin mereka pulangf berlayar menuju Bengkalis di Riau dalam keadaan cuaca buruk. 
Prajurit E. Isaac Irot.

Para pelarian itu membagi diri ke dalam dua kelompok. Sebuah ke­lompok dipimpin oleh Letnan M.K. Kroon sementara yang lainnya di ba­wah Irot. Mereka kemudian pergi ke Indra­pura. Karena terjadi badai, Irot memutuskan memasuki sebuah sungai kecil dan mengirimkan sinyal ke pera­hu yang ditumpangi Kroon di pantai. Mereka akhirnya berhasil mencapai Indrapura, bergabung dengan pasukan Belanda kembali untuk bertempur lagi sebagai gerilyawan melawan pasukan Jepang yang menyerbu Pulau Sumatra.

Dari KNIL ke TNI

Irot sendiri kemudian ditawan oleh Jepang pada bulan April 1942. Dibebaskan tidak lama kemudian, Irot menemukan Kapten Supheert di sebuah kamp tawanan di Kabanjahe, Medan, dan diperintahkan oleh bekas atasannya itu untuk menjadi seorang kurir di antara para perwira yang ditawan. Ia berhasil mengontak Letnan Krron di kamp tawanan di Glugur, tetapi aktivitas ilegalnya ini tidak berlangsung lama setelah Jepang memperketat penjagaan di kamp-kamp tawanan. Irot  kemudian menghabiskan masa pendudukan Jepang dengan bekerja sebagai seorang kuli.

Setelah berakhirnya Perang Pasifik, Irot bergabung kembali dengan KNIL dan bertugas dengan Batalion Infanteri VI (Medan). Atas tindak kepahlawanannya di Malaka, pangkatnya dinaikkan secara luar biasa dari Prajurit Satu Marsose menjadi seorang sersan. Lewat sebuah Koninklijk Besluit pada tanggal 28 Februari 1947, ia juga dianugerahi medali Militaire Willemsorde kelas IV, yang disematkan di Medan oleh Mayor Jenderal P. Scholten pada bulan Februari 1947. Dalam komunike militernya, disebutkan bahwa Irot "telah memperlihatkan kemampuan terbaiknya di medan laga dengan menunjukkan keberanian, kebijaksanaan dan kesetian yang luar biasa. Ia bukan hanya memperlihatkan keberanian dalam pertempuran-pertempuran selama bulan Februari dan Maret 1942 di Malaka, tetapi juga pada masa di mana prajurit lainnya tidak berani menjalankan tugas-tugas yang berbahaya, di mana ia menjadi sukarelawan. Setelah Malaka jatuh ke tangan Jepang dan pasukan Marsose ditarik mundur ke Sumatra, Irot, setelah awalnya mendarat dengan selamat di Bengkalis bersama komandan dan sekelompok kecil pasukan, kemudian menjadi sukarelawan untuk kembali menyeberang ke Malaka. 

Ia kemudian memasuki daerah yang berbahaya di Malaka untuk memampukan penarikan sisa-sisa pasukan, yang, berkat kehati-hatian, kepemimpinan dan kebijaksanaannya, akhirnya seluruh pasukan yang tersisa dan perwiranya berhasil menyeberang dengan aman dari Malaka ke Sumatra".  

Irot sendiri kemudian bergabung dengan TNI sesudah Pengakuan Kedaulatan Indonesia tahun 1949. Ia wafat di Medan pada tanggal 12 April 2005.

Kisah Lengkap Pertempuran KNIL di Malaka dapat dilihat di buku berikut:






KINCIR ANGIN DAN SWASTIKA: Kisah Sukarelawan Belanda dalam Tentara Hitler

Sebuah poster perekrutan Waffen SS untuk menarik sukarelawan Belanda agar bertugas di Front Timur melawan ancaman Komunisme. 


Oleh Nino Oktorino 

Umum diketahui bahwa pada masa Perang Dunia II Negeri Belanda berjuang bersama negara-negara Sekutu untuk mengalahkan tirani Jerman Nazi yang berusaha menguasai dunia. Akan tetapi catatan sejarah yang gemilang itu dinodai oleh fakta bahwa ribuan pemuda negeri kincir angin itu ternyata juga berjuang di bawah kibaran bendera swastika untuk menegakkan Reich Seribu Tahunnya Hitler. Inilah kisah mereka.

 

Adolf Hitler mencita-citakan pembentukan sebuah kemaharajaan yang disebutnya sebagai Jermania. Menurut rencananya, negara supranasional itu bukan hanya akan dikuasai oleh bangsa Jerman melainkan juga akan mengikutsertakan apa yang oleh kaum Nazi disebut sebagai bangsa Nordik-Jermanik. Di antara kelompok bangsa yang mendapatkan hak istimewa untuk memerintah dunia bersama orang Jerman itu adalah bangsa Belanda. Akan tetapi, untuk membuktikan bahwa mereka memang bernilai bagi cita-cita gilanya itu, Hitler memberikan kesempatan bagi orang Belanda untuk berjuang bersama tentara elitenya, Waffen SS (SS Bersenjata).

SS dan Nazifikasi Belanda

Waffen SS adalah cabang militer dari barisan SS yang ditakuti. Pemimpin SS Heinrich Himmler memandang mereka sebagai inti dari  sebuah Korp Perlindungan Negara, yang akan menjaga sebuah kemaharajaan Jermanik di Eropa. Akan tetapi keberadaan mereka dipandang sebagai ancaman terhadap monopoli militer yang dipegang oleh tentara reguler Jerman. Untuk mengekang pertumbuhan mereka, Wehrmacht (Angkatan Bersenjata Jerman) membatasi alokasi SDM bagi tentara pribadi Himmler tersebut.

Intrik tersebut memaksa Himmler mencari tambahan orang dari luar perbatasan Jerman. Salah satu sumber potensial yang terbuka bagi para perekrut SS adalah orang-orang Eropa yang berdarah Jermanik. Daya tarik kelompok ini bukan hanya terletak pada fakta bahwa mereka berada di luar yuridiksi Wehrmacht namun juga karena mereka memenuhi standar rasial Nazi. Di antara negara-negara Jermanik yang diduduki Nazi, Belanda menyumbangkan kontingen sukarelawan terbesar bagi Waffen SS.

Sebenarnya, secara keseluruhan orang Belanda tidak senang bergabung dengan Waffen SS. Belanda sendiri secara resmi masih dalam keadaan berperang dengan Jerman karena pemerintahan yang sah masih berfungsi di London setelah jatuhnya negeri tersebut pada bulan Mei 1940. Karenanya bergabung dengan tentara musuh dianggap sebagai tindakan pengkhianatan. Bahkan pandangan ini juga dimiliki oleh kolaborator utama Belanda, Anton Mussert, yang merupakan pemimpin NSB (Nationaal Socialitische Beweging, atau Partai Nazi Belanda).

Mussert (seragam hitam) bersama Himmler (kanan): dipaksa menuruti keinginan SS.

Akan tetapi Mussert merasa terpukul ketika Himmler secara gamblang menegaskan bahwa Belanda pada akhirnya akan digabungkan dengan Reich Jerman Raya.  Hal itu tentu saja berarti bahwa Belanda bukan hanya akan kehilangan kedaulatan nasionalnya melainkan juga semua otonomi yang masih dimilikinya. Untuk melancarkan integrasi tersebut, Himmler memerintahkan pembentukan sebuah badan SS Belanda. Organisasi ini akan membantu menazifikasikan bangsa Belanda dan membuat mereka siap untuk diintegrasikan ke dalam Reich.

Pernyataan Himmler ini menimbulkan dilemma bagi Mussert: bekerja sama dengan SS dan merekrut sukarelawan Belanda bagi mereka sama saja artinya  bekerja sama dengan musuh. Namun di sisi lain, menentang SS bisa menimbulkan akibat buruk bagi NSB. Kegalauan Mussert bertambah ketika SS mengancam akan menggantinya dengan tokoh NSB lainnya yang lebih pro Nazi apabila dia menolak mengikuti kemauan mereka.

Akhirnya, keinginan untuk tetap berkuasa membuat Mussert menyerah pada tekanan SS. Pada tanggal 11 September 1940 Mussert membentuk Nederlandsche SS (SS Belanda). Tiruan dari SS ini secara resmi merupakan bagian dari NSB. Sebagai pemimpinnya diangkat Henk Feldmeijer, seorang tokoh radikal NSB. Walaupun sebenarnya Mussert ingin agar Nederlandsche SS bisa dikontrolnya, para pemimpin NSB yang radikal seperti Feldmeijer menganggap organisasi SS Belanda itu sebagai sebuah pasukan penggempur nasional sosialis untuk mencapai cita-cita Jermanik Raya.

Ditipu Nazi

Serangan Hitler ke Rusia pada tanggal 22 Juni 1941 membangkitkan dukungan besar bagi Jerman dari banyak orang Eropa yang anti komunis. Di Belanda, banyak orang yang siap untuk membantu kampanye militer Jerman untuk ‘menyelamatkan’ Eropa dari gerombolan orang biadab dan tidak bertuhan dari Timur. Orang Jerman mendukung kecenderungan tersebut karena dengan dengan demikian mereka bukan hanya mendapatkan tambahan SDM namun juga dapat menunjukkan bahwa orang Jermanik Eropa bukan hanya mendukung kebijakan mereka namun juga siap berjuang di pihak mereka.

Orang Jerman menunjuk seorang pensiunan jenderal Belanda bernama H.A. Seyffardt untuk memimpin legiun sukarelawan Belanda. Mereka juga memberikan izin kepada semua sukarelawan untuk mengenakan lambing nasional mereka di seragamnya. Sebagai contoh, ‘prinsevlag’ (bendera oranye-putih-biru lambang kerajaan Belanda) tersulam di lengan seragam mereka. Setelah itu para prajurit bersumpah setia kepada fuehrer maupun ‘prinsevlag’. Suasana ‘Belanda’ ini membuat banyak sukarelawan mengira bahwa mereka bergabung dengan sebuah unit tempur nasional Belanda yang akan membantu pasukan Jerman di Rusia.

Akan tetapi kenyataannya tidak begitu. Jauh sebelum pembentukan sebuah unit sukarelawan Belanda, Hitler telah memutuskan bahwa penanggung jawab atas semua sukarelawan Jermanik adalah Waffen SS. Pihak SS mengklaim bahwa para sukarelawan Belanda harus bergabung dengan mereka untuk mengembangkan korp elite Jermaniknya Himmler. Akibatnya, ketika para rekrutan tiba di barak-barak SS, banyak di antara mereka menjadi marah karena merasa ditipu. Beberapa di antara mereka menyampaikan protes keras dan akhirnya diizinkan mengundurkan diri. Yang lainnya memutuskan untuk tetap tinggal walaupun mereka sudah ditipu oleh ‘teman’ Jerman mereka.

Sumpah setia sukarelawan SS Belanda di Den Haag sebelum dikirimkan ke Front Timur.

Selama Perang Dunia II, sekitar 50.000 orang Belanda tercatat berdinas di dalam Waffen SS. Para sukarelawan ini bergabung karena berbagai alasan. Kelompok terbesar bergabung karena ingin bertualang atau karena tidak memiliki pekerjaan. Mereka ini diikuti oleh orang-orang yang memiliki ideologi yang menginginkan agar Jerman menang perang dan percaya bahwa dengan menjadi sukarelawan mereka dapat menjamin bahwa partai dan negeri mereka akan mendapatkan tempat istimewa dalam Orde Barunya Hitler. Beberapa orang bergabung karena mereka sangat anti-komunis. Menjelang 18 bulan terakhir perang, cukup banyak orang yang bergabung untuk menghindari kerja paksa ataupun tuntutan hukum.

Karena latar belakang yang beraneka ragam ini, para sukarelawan Belanda merasa kaget ketika mereka harus menghadapi para pelatih yang kasar dan kaku khas Jerman. Segera timbul keluhan bahwa para instruktur SS memperlakukan para sukarelawan asing dengan sikap yang sangat angkuh. Hal ini sendiri tidaklah mengherankan karena kebanyakan pelatih SS bukan hanya tidak mengerti kebiasaan dan cara pandang bangsa lain namun juga menganggap bahwa tugas melatih para sukarelawan bukan Jerman adalah suatu pekerjaan hina!

Metode pelatihan yang super Jerman ini menimbulkan perlawanan sengit dari para sukarelawan Belanda. Bahkan Himmler sendiri juga murka pada cara anak buahnya memperlakukan para sukarelawan Jermaniknya. Untuk memperbaiki keadaan, pemimpin SS itu mengancam akan menurunkan pangkat atau memecat para perwira dan bintara SS yang sikapnya bisa mengancam masa depan Jermanisme yang dicita-citakan Nazi. Akhirnya keadaan membaik. Perlahan-lahan timbul suatu ikatan antara para kader SS Jerman dan Belanda sebagai kawan seperjuangan, sesuatu yang amat penting ketika mereka harus menghadapi musuh di garis depan.

Neraka di Front Timur

Para sukarelawan Belanda dikirim ke Front Timur dalam berbagai formasi SS. Kontingen pertama terjun ke medan laga sebagai bagian dari Resimen SS Westland, di mana mereka digabungkan dengan saudara-saudara Vlam (orang Belgia yang berbahasa Belanda) mereka.

Formasi militer Belanda yang lebih besar dan solid adalah SS-Freiwilligen Legion Niederlande (legiun sukarela SS Belanda). Unit ini dikirim ke Rusia pada bulan Januari 1942 dan ditetapkan di pinggiran Leningrad (St. Petersburg). Bekas ibukota kekaisaran Rusia serta tempat lahirnya Revolusi Komunis pada tahun 1917 itu merupakan sebuah pusat industri dan infrastruktur Uni Soviet yang penting. Dengan demikian, orang Jerman sangat berkepentingan untuk merebut kota tersebut sementara orang Rusia berusaha mati-matian untuk mempertahankannya. Hal ini kemudian melahirkan salah satu peristiwa tragis yang penuh kepahlawanan selama Perang Dunia II: pengepungan selama 900 hari atas Leningrad.

Serdadu SS Belanda di Front Volkhov, 1943.

Selama bulan-bulan pertama tahun 1942 itu, Niederlande terlibat dalam sejumlah operasi militer yang sukses melawan Tentara Merah. Pada bulan Juni, mereka berpartisipasi dalam suatu operasi yang menghancurkan sebuah pasukan elite Rusia di dekat Danau Fuhovga. Pasukan Belanda bukan hanya merampas sejumlah besar perlengkapan militer lawan namun juga   berhasil menawan 3.500 prajurit Rusia, termasuk Jenderal Vlasov yang terkenal. Penampilan mereka yang prima itu bukan hanya mendapatkan pujian dari para komandan Jerman namun juga menyebabkan Hitler menghadiahkan medali keberanian Salib Besi Kelas I dan II kepada 190 anggota legiun.

Akan tetapi keadaan berubah menjadi berat bagi mereka setelah kekalahan Tentara  Jerman di Stalingrad pada awal tahun 1943. Kemenangan tersebut membuat semangat Tentara Merah untuk membebaskan tanah airnya berkobar. Pada bulan Januari 1943, Tentara Merah melancarkan serangan besar-besaran untuk menembus blokade Jerman terhadap Leningrad. Bersama-sama pasukan Jerman lainnya, Niederlande mati-matian berusaha menahan gerak maju tank dan infanteri Rusia. Meriam-meriam anti tank legiun tersebut terbukti sangat efektif dalam pertahanan Jerman. SS-Sturmann (kopral) Gerardus Mooyman diberikan medali militer tertinggi Jerman, Salib Ksatria, atas keberhasilannya menghancurkan tiga belas tank Rusia dalam waktu satu hari.

Sturmann Gerardus Mooyman, sukarelawan Belanda pertama yang mendapat medali Salib Ksatria.


Pada bulan April 1943, legiun yang kelelahan itu ditarik dari Leningrad untuk beristirahat dan ditingkatkan kekuatannya menjadi seukuran brigade. Brigade baru tersebut, yang berkekuatan 5.000 orang Belanda, terdiri atas dua resimen, Resimen General Seyffardt (untuk menghormati bekas komandan legiun yang dibunuh oleh gerilyawan Belanda) dan De Ruyter. Mereka kemudian dikirim ke Zagreb, Kroasia, di mana mereka mendapatkan pelatihan tambahan serta dilibatkan dalam sejumlah operasi melawan kaum partisan Yugoslavia pimpinan Tito.

Sementara itu Front Timur kembali memanas. Setelah menang di Kursk pada musim panas 1943, Tentara Merah bergerak maju di seluruh front. Keadaan ini menyebabkan Niederlande dikirim kembali ke Leningrad pada hari Natal 1943, walaupun brigade pimpinan SS-Brigadefuehrer Juergen Wagner itu belum menyelesaikan pelatihannya. Meskipun ada perlawanan senngit dari pasukan Jerman, kali ini Tentara Merah berhasil membebaskan Leningrad dari kepungan yang telah menelan satu juta jiwa orang Rusia selama hampir tiga tahun itu. Untuk menghindari kehancuran, Niederlande mundur ke Narva di Estonia.

Akan tetapi Tentara Merah terus mengejar mereka. Pada tanggal 24 Juli 1944, pasukan Soviet melancarkan serangan besar-besaran ke Narva dan memaksa Niederlande mundur terus ke Lithuania. Dalam penarikan mundur ini, Resimen General Seyffardt terjebak di suatu wilayah hutan berawa dan diserang habis-habisan dari darat dan udara oleh pasukan lawan. Sebagian besar anggotanya binasa sementara orang-orang yang selamat diburu selama berhari-hari di kawasan berawa-rawa. Hanya sedikit saja di antara mereka yang berhasil kembali ke garis Jerman.

Akhir yang Getir

Pada musim panas 1944 pasukan Jerman mundur di semua front, di mana Sekutu bergerak menjepit mereka dalam suatu gerakan raksasa dari arah timur dan barat setelah pendaratan di Normandia. Di tengah-tengah bencana tersebut, suatu peristiwa mengejutkan terjadi. Pada tanggal 20 Juli, seorang perwira Jerman yang anti-Nazi berusaha membunuh Hitler namun gagal. Ketika berita itu tersiar di front, banyak prajurit Jerman, termasuk para sukarelawan Belanda, menjadi marah terhadap apa yang mereka sebut pengkhianatan itu. Seorang prajurit Belanda menulis kepada Hitler sebagai berikut: “…Semoga keyakinan jutaan orang Jerman dan ribuan sukarelawan Jermanik tetap bersama anda dalam kecintaan yang fanatik dan kesetiaan yang tidak menyurut.”

Fanatisme dan semangat tempur Niederlande itu bukan hanya mendapatkan pujian dari Himmler namun juga membuat pemimpin SS itu berkeinginan memperbesar kekuatan SS Belanda. Hasilnya adalah pembentukan Divisi SS Landstorm Nederland. Dibentuk pada tahun 1943, unit tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan Belanda dari serbuan Sekutu. Ironisnya, pada bulan September 1944, Landstorm Nederland ikut berpartisipasi dalam menggagalkan usaha pasukan payung Sekutu untuk membebaskan negeri mereka.

Parade anggota Divisi SS Landstorm Nederland.


Sementara itu keadaan para prajurit Belanda di Front Timur semakin memburuk. Terkepung di Kurland, Lithuania, Niederlande diungsikan lewat laut. Dalam pengungsian tersebut banyak anggota brigade yang hilang ketika Angkatan Laut Soviet menenggelamkan kapal penumpang Moira. Akan tetapi tulang punggung brigade tersebut berhasil tiba dengan selamat di Stettin, di timur Jerman.

Pada tanggal 10 Februari 1945, brigade tersebut ditingkatkan statusnya menjadi sebuah divisi. Akan tetapi nama tersebut hanya di atas kertas belaka karena pada kenyataannya divisi itu berkekuatan seribu orang saja. Padahal sebuah divisi biasanya beranggotakan 12.000 orang!

Sementara itu Tentara Merah maju dengan cepat menuju jantung Jerman, Berlin. Dalam suatu usaha akhir untuk membendung serangan itu, Niederlande—bersama-sama unit SS Jerman, Belgia dan Skandinavia—ditugaskan untuk mempertahankan Sungai Oder, di antara wilayah Stettin dan Neustadt. Apabila garis pertahanan ini jebol, maka tak ada lagi rintangan yang bisa menahan Tentara Merah.

Serangan Soviet yang dimulai pada tanggal 16 April 1945 itu merupakan serangan terbesar sepanjang zaman. Dimulai oleh pemboman dari 41.000 meriam, kemudian Stalin mengerahkan tiga juta prajurit yang didukung oleh 6.000 tank lebih serta 6.500 pesawat terbang. Untuk menghadapi mereka, Jerman hanya memiliki kurang dari satu juta prajurit dengan meriam, tank dan pesawat terbang yang jumlahnya kurang dari sepertiga yang dimiliki lawan. Lebih parah lagi, orang Jerman kekurangan amunisi dan bahan bakar.

Hasil akhir dari peperangan bisa ditebak. Walaupun tentara Jerman bertahan dengan berani, di mana-mana garis pertahanan mereka jebol. Tentara Merah melanda bagaikan air bah menuju Berlin. Di tengah-tengah bencana tersebut, Niederlande berusaha mundur ke barat untuk menghindari balas dendam Tentara Merah. Sekali lagi, Resimen General Seyffardt (yang dihidupkan kembali setelah bencana di Narva) mengalami nasib buruk. Di Hammerstein, resimen tersebut dikepung dan dimusnahkan oleh Tentara Merah yang jauh lebih besar.  Sebagian besar anggotanya terbunuh, sementara yang menyerah segera dieksekusi oleh prajurit Rusia.

Resimen De Ruyter sendiri nyaris dihancurkan oleh sebuah pasukan tank Soviet di dekat Desa Parchim di utara Berlin pada tanggal 3 Mei 1945. Akan tetapi ketika mereka mendengar deru mesin tank mendekat dari arah barat, semangat mereka berkobar kembali. Mengapa? Karena suara tersebut segera terbukti milik unit-unit tank Amerika. Setelah bertempur habis-habisan dan menghancurkan tank Rusia yang terakhir, para prajurit De Ruyter menyerah kepada pasukan Amerika sehingga terhindar dari kekejaman Tentara Merah. Empat hari kemudian Jerman menyerah. Bersama-sama dengan rekan-rekan Jermannya, para prajurit SS Belanda yang tersisa meletakkan senjata dan bergerak memasuki tempat-tempat penahanan dalam formasi militer menuju akhir yang getir.

Noda Seumur Hidup

Pada tahun 1946, Waffen SS—sebagai bagian dari SS—dituduh sebagai sebuah organisasi kriminal di depan Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg. Sehubungan dengan dakwaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan  yang ditimpakan kepada Waffen SS itu, bekas anggota SS Belanda juga harus memikul beban kesalahan tersebut. Selama perang, sejumlah serdadu dan unit SS Belanda berpartisipasi dalam eksekusi terhadap para gerilyawan dan penduduk sipil. Sebagai contoh, seorang prajurit SS Belanda yang pernah bertugas di Kroasia memberikan kesaksian bahwa “Saat para partisan ini tertangkap…mereka bisa bergantungan di atas pohon yang tinggi.” Untuk kejahatan tersebut, SS-Brigadefuehrer Juergen Wagner—bekas komandan Niederlande—diekstradisi oleh Sekutu Barat ke Yugoslavia, di mana dia diadili dan dieksekusi atas kejahatan perang yang dilakukan unitnya.

Mantan anggota SS Belanda di balik kawat berduri kamp tawanan sesudah perang.


Akan tetapi beban utama yang harus ditanggung oleh bekas anggota SS Belanda itu tidak terkait dengan tindakan kejahatan perang mereka melainkan oleh tuduhan melakukan pengkhianatan terhadap tanah air mereka. Orang Belanda terutama sangat keras memperlakukan ‘para kolaborator’ militer dan memenjarakan mereka di bekas  kamp konsentrasi Nazi di Vught maupun penjara di Veluuwe. Banyak di antara mereka baru dibebaskan pada akhir tahun 1940-an sedangkan sejumlah perwira ditahan hingga pertengahan tahun 1950-an.

Ketika akhirnya isu mengenai para sukarelawan ini muncul setelah perang, mereka selalu dibicarakan dengan sikap yang menghina dengan sebutan sebagai penjahat atau tentara bayaran. Sebegitu besarnya masalah mengenai para ‘sukarelawan’ ini sehingga Pemerintah Belanda melakukan sensor mengenai isu tersebut, yang dalam banyak kasus berlaku hingga hari ini. Sedangkan mengenai para veteran Waffen SS Belanda, kebanyakan di antara mereka berusaha menutupi masa lalu mereka. Hal itu tidaklah mengherankan karena beberapa bekas anggota SS Belanda yang kemudian menjadi pengusaha maupun politisi yang cukup berpengaruh ternyata rawan oleh pemerasan. Masa lalu mereka nampaknya tetap menjadi noda yang harus ditanggung seumur hidup mereka.



Temukan kisah lebih lanjut dari para sukarelawan Belanda dalam Waffen-SS di buku



 

 

 

 

 

 

 

PERTEMPURAN LAUT JAWA

Lukisan pertempuran di Selat Banten saat USS Houston dan HMAS Perth berduel dengan kapal-kapal Jepang yang sedang mendaratkan pasukan di Merak.

 

Oleh Nino Oktorino 

 

Pertukaran tahun 1941 ke 1942 merupakan masa suram bagi kekuatan Sekutu di kawasan Asia Pasifik. Belum sampai sebulan pecah Perang Pasifik, mereka harus menderita pukulan berat di mana-mana. Kekalahan demi kekalahan dialami di berbagai medan, padahal kekuatan Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris, dibantu oleh Australia dan Belanda hanya menghadapi satu musuh, yakni Jepang. Keadaan dan jalannya peperangan sungguh tidak memberikan harapan cerah di masa dekat.

 

Gerakan Sapu Cepat

Pada tanggal 7 Desember 1941, Jepang melancarkan serangan mendadak terhadap armada Amerika yang sedang berlabuh di Pearl Harbor dengan menggunakan pesawat-pesawat terbang yang berpangkalan di atas kapal induk. Akibat pembokongan ini, boleh dikatakan Armada Pasifik  AS beserta kekuatan udaranya telah dilumpuhkan. Bencana di Pearl Harbor diikuti oleh pemboman terhadap Lapangan Terbang Clark di Pulau Luzon yang menghancurkan banyak pesawat terbang AS di landasan. Di Teluk Manila, pesawat-pesawat pembom Jepang meratakan Stasiun Angkatan Laut Cavite, pangkalan Armada AS di Asia.

Pada tanggal 10 Desember, sekali lagi terjadi bencana terhadap Angkatan Laut Sekutu. Setelah mendengar suatu konvoi Jepang melakukan pendaratan awal di Semenanjung Kra di pantai utara Malaya, Laksamana Sir Tom Phillips segera meninggalkan Singapura pada tanggal 8 Desember bersama kapal tempur Prince of Wales dan kapal penjelajah Repulse dengan tujuan menghancurkan sebanyak mungkin konvoi tersebut. Akan tetapi dua hari kemudian di sebelah timur Malaya, pesawat-pesawat terbang Jepang menyergap armada laut Inggris itu. Akibatnya Prince of Wales dan Repulse tenggelam. Bersama kapal-kapal perang tersebut ikut tenggelam 840 orang pelaut Inggris, termasuk Laksamana Phillips.

Kemenangan besar itu menjadikan Jepang kekuatan yang dipertuan di kawasan Pasifik tanpa lawan yang berarti di laut. Dengan tenggelamnya kedua kapal perang Inggris tersebut, praktis tidak ada lagi kapal perang besar Inggris atau AS di Samudera Pasifik dan Hindia. Angkatan Laut Jepang merajai ribuan mil laut tanpa ada yang menandinginya.

Terbentuknya Armada ABDA  

Tujuan perang Jepang ialah gerakan menyapu cepat untuk merampas negara-negara Asia Tenggara yang kaya bahan mentah, dari Malaya ke Hindia Belanda sampai ke Timor. Daerah-daerah yang merupakan jajahan Barat pada masa itu, menjadi tidak terlindung tanpa kapal perang. Jepang sendiri konon tidak menduga bahwa tujuannya sudah di dekat mata dan dapat dicapai semudah itu. Tetapi semuanya ini dimungkinkan oleh dua kemenangannya yang menentukan yang melumpuhkan kekuatan angkatan laut lawan sehingga mereka bisa melancarkan operasi pendaratan amfibi dengan aman sehingga gerak majunya di darat tidak dapat dihambat lagi.

Sebenarnya, beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Pasifik, yaitu pada bulan April 1941, telah diadakan usaha untuk mencapai suatu persetujuan internasional bila terjadi perang di Asia-Pasifik. Wakil-wakil AS, Inggris Raya, Belanda, Australia dan Selandia Baru berunding di Singapura. Konferensi ini tidak membuahkan hasil nyata, terutama disebabkan oleh pandangan yang berbeda-beda mengenai Singapura sendiri. Inggris telah mengeluarkan biaya sangat besar untuk membangun pangkalan militer dan angkatan laut, dan menganggapnya sebagai lambang kerajaan.

Sebaliknya, orang Amerika seperti Laksamana Turner sangat pesimis terhadap masa depan Singapura sebagai pangkalan strategis karena pertahanan daratnya sangat kurang sehingga Singapura tidak mungkin bertahan lama apabila terjadi perang dengan Jepang. Perbedaan pendapat sangat mengganggu kelancaran fungsi komando gabungan ABDA (American-British-Dutch-Australia) yang didirikan pada 15 Januari 1942, selama hidupnya yang hanya enam minggu itu. Orang Inggris ingin agar dikirimkan tentara lebih banyak lagi ke Singapura dan memakai armada gabungan untuk mengawal mereka. Belanda ingin mempertahankan wilayah jajahannya di Hindia sedangkan orang Australia  ingin mencegah invasi ke tanah airnya. Orang Amerika sendiri bermaksud menyusun kekuatan untuk merebut kembali kejayaannya setelah kekalahannya di pearl Harbor dan Filipina.

Tiga laksamana Sekutu, dari kiri ke kanan: Layton dari Inggris, Helfrich dari Belanda, dan Hart dari Amerika.

Laksamana C.E.L. Helfrich dari Belanda sepanjang peperangan yang berlangsung tiga bulan ini selalu mengeluh tentang koordinasi yang kurang antara kekuatan Sekutu yang memang membahayakan. Hal itu dikarenakan kondisi tersebut bukan saja akan membuat kekuatan mereka lemah di hadapan Jepang namun juga dapat menyebabkan saling tembak-menembak antar kesatuan Sekutu  karena tidak tahu identitas satu sama lain.

Memang, sebagai komando gabungan, ABDA merupakan pekerjaan tambal sulam. Kesulitan-kesulitan komunikasi dan bahasa tidak pernah terpecahkan. Tidak pernah dirancang suatu sistem isyarat gabungan. Panglima tertinggi ABDA, Marsekal Wavell, telah membuktikan kebolehannya sebagai panglima di Afrika, tetapi di sini dia gagal, seperti juga orang lain akan gagal dalam keadaan yang sama. Letnan Jenderal H. ter Poorten diangkat menjadi Panglima Gabungan Angkatan Darat, Laksamana Thomas. S. Hart menjadi panglima angkatan laut dan Marsekal Udara Sir Richard Peirse memegang komando angkatan udara.

Ibarat Belalai Dua Ekor Cumi-cumi

Dua gugus penyerang Jepang yang sangat kuat, di sebelah timur dipimpin oleh Laksamana Muda Takahashi, di sebelah barat di bawah Laksamana Madya Ozawa, terdiri dari kapal-kapal penjelajah berat dan perusak mengawal iring-iringan kapal pengangkut pasukan yang dibayangi oleh kapal-kapal induk pimpinan Laksamana Nagumo. Ini merupakan payung udaranya. Kekuatan penyerbu itu menerpa wilayah Hindia Belanda seperti belalai dua ekor cumi-cumi raksasa. Cumi yang di barat menuju Kalimantan Utara dan Sumatra melalui Laut Cina Selatan, yang di timur ke Kalimantan Timur, Sulawesi, Ambon, Timor dan Bali.

Pesawat-pesawat Jepang melancarkan serangan pengamanan terhadap tempat pendaratan, disusul oleh pasukan pendarat amfibi, kemudian membangun lapangan terbang baru sebagai pangkalan untuk menyerang sasaran berikutnya. Tidak ada yang dapat dilakukan Sekutu untuk mencegah berlangsungnya bencana mengerikan ini. Kapal-kapal selam AS dan Belanda menimbulkan kerusakan pada kapal-kapal Jepang, tetapi bagi mereka yang kekuatannya berlipat ganda, kerugian itu hanya dianggap gigitan nyamuk belaka.

Suatu skuadron kapal perusak AS menyerang pasukan pendarat Jepang di Balikpapan pada malam 23-24 Januari 1942, menenggelamkan empat kapal angkut dan sebuah kapal patroli, tetapi hal ini tidak mengganggu jadwal pendaratan. Pada 13 Februari, pesawat-pesawat terbang Jepang yang berpangkalan di Kendari menyerang Surabaya sehingga memaksa Laksamana Hart untuk menyingkirkan tender-tendernya ke Cilacap. Pada tanggal 15 februari, Singapura jatuh, suatu pukulan berat bagi Inggris seperti Pearl Harbor bagi AS.

Dengan tersingkirnya ancaman Sekutu dari Malaya, pasukan Jepang menuju Palembang di Sumatra, dan pada akhir bulan Februari, setengah dari persediaan minyak di Hindia Belanda berada di tangan Jepang. Tidak pelak lagi, bahwa seluruh daya upaya peperangan Jepang bergantung pada minyak dan bahan-bahan tambang yang vital. Kapal-kapal tanki diisi dari pelabuhan-pelabuahn minyak, dan dengan muatan yang demikian berharga kembali ke Jepang tanpa mengalami gangguan apapun. Tujuan utama pun telah tercapai.

Jawa menjadi sasaran yang berikut, tetapi sebelum sang cumi-cumi menjeratnya, dianggap penting untuk mengganggu komunikasi antara Jawa dengan Australia, dan terutama dengan Port Darwin yang merupakan pangkalan Sekutu. Pada 19 Februari, pesawat-pesawat terbang Jepang lepas landas dari empat kapal induk yang berada di Laut Timor dan menghantam geladak-geladak dan lapangan udara Port Darwin. Lapangan udara dihancurkan dan sebelas kapal ditenggelamkan dengan muatannya yang berharga. Sekitar 250 orang tewas dan Port Darwin mengalami kerusakan yang cukup parah.

Kini jalan menuju Jawa telah terbuka. Kekuatan-kekuatan Sekutu mencoba mencegah serbuan Jepang dengan suatu serangan pada malam hari di lepas pantai Bali, tetapi hanya mampu mengakibatkan kerugian yang tidak berarti bagi armada Jepang. Tidak sulit untuk membayangkan bahwa armada Sekutu sesungguhnya telah kepayahan karena harus terus-menerus di laut, dan memerlukan perbaikan-perbaikan serta bala bantuan, lagipula awak kapal pun membutuhkan istirahat. Efisiensi dari kekuatan-kekuatan ABDA menjadi semakin minim setelah mengalami kerusakan dan kekalahan akibat pemboman yang hampir selalu mengenai sasaran; tetapi pertempuran masih harus dilanjutkan.

ABDA direorganisasi

Dalam keadaan yang gawat itu, komando ABDA mengalami reorganisasi menyeluruh. Laksamana Hart meninggalkan Hindia Belanda dan menyerahkan pimpinan AL Sekutu kepada Laksamana Muda Helfrich. Laksamana Hart terlalu tua dan merasa bahwa dia bukan orang yang tepat sebagai panglima Armada ABDA.

Sebenarnya penggantian ini dilakukan atas desakan berulang-ulang dari fihak Belanda, yang sejak lama menghendaki pimpinan dipegang oleh seorang perwira Belanda. Belanda merasa dirugikan sebab menurut mereka pihak AS berperang tidak bersungguh hati melawan desakan Jepang. Sebaliknya AS tidak merasakan kepentingannya untuk berkorban lebih banyak lagi demi membela kepentingan tanah jajahan orang yang hampir bisa dipastikan akan dikalahkan.

Tetapi mutasi ini tidak banyak menolong. Semua kapal perang dan awaknya telah berjuang melampaui batas kemampuannya. Fasilitas perbaikan di Surabaya tidak mencukupi, di Cilacap hampir tidak ada, yang kini menjadi pangkalan armada Sekutu untuk menghindari serangan udara lawan. Wavell diperintahkan untuk pulang dan bertolak pada tanggal 25 Februari. Jenderal Brereton dari Pasukan Udara Angkatan Darat AS sudah berangkat terlebih dahulu, bersama dengan sebagian besar pesawat AS yang mengundurkan diri dari Filipina. Dalam kenyataannya ABDA sudah tidak ada lagi, yang ada hanya di atas kertas saja. Kini para perwira Belanda memegang pimpinan atas sisa-sisa tentara Sekutu yang masih tertinggal di wilayah ini.

Laksamana Madya Karel Doorman.

Laksamana Madya Karel Doorman kini menjadi panglima Satuan Gabungan Penyerang Sekutu yang berpangkalan di Surabaya. Satuan ini cukup berarti sebagai kekuatan tempur: penjelajah berat USS Houston dan HMS Exeter, penjelajah ringan HMAS Perth (Australia) dan HMS De Ruyter dan Java (Belanda) ditambah empat kapal perusak AS, tiga Inggris dan tiga Belanda. Namun sebagai kekuatan tempur seluruh kapal perang ini tidak cukup kuat untuk menghadapi serbuan Jepang. Lagipula mereka tidak pernah beroperasi bersama sebagai suatu tim.

Pertempuran Laut Jawa

Sementara itu, dua kekuatan pendaratan amfibi Jepang mendekati sasaran, 56 kapal pengangkut di bawah pimpinan Laksamana Madya Ozawa di sebelah barat dan 41 kapal di bawah Laksmana Madya Nishimura di sebelah timur. Satuan pendarat di sebelah timur yang diharapkan untuk disergap oleh Doorman karena diduga menuju Surabaya, dilindungi oleh kekuatan pendukung yang kuat di bawah Laksamana Takeo Takagi, yang di dalamnya termasuk penjelajah berat Nachi dan Haguro, dua skuadron kapal perusak dengan dua kapal penjelajah ringan, Naka dan Jintsu, sebagai kapal bendera di bawah Laksamana Madya Nishimura dan Tanaka.

Penjelajah Jepang membawa serta pesawat terbang pengapung yang bertugas sebagai pesawat pengintai. Adanya pesawat-pesawat terbang kecil ini menguntungkan pihak Jepang, sedangkan Doorman sama sekali tidak memiliki pesawat terbang. Dia meninggalkan pesawatnya di pelabuhan karena memperkirakan pertempuran akan terjadi pada malam hari. Ketika pertempuran terjadi, dia meminta bantuan udara dari darat. Panglima angkatan udara mengirimkan beberapa pesawat pembom ringan dan pemburu lalu mengadakan serangan sia-sia terhadap iring-iringan pengangkut Jepang.

Pada tanggal 27 Februari pukul 15.00, Laksamana Doorman membawa armadanya menuju Surabaya untuk beristirahat dan mengisi bahan bakar dan amunisi setelah sehari sebelumnya berpatroli secara sia-sia untuk menemukan konvoi pasukan pendarat Jepang dan diserang oleh pesawat terbang lawan.

Helfrich yang bermarkas di Lembang tidak mau mengerti. Dia memerintahkan agar satuan kapal itu terus menuju ke utara untuk menyongsong lawan. Doorman mengirimkan kawat kepada panglimanya yang mencerminkan seluruh gambaran di medan peperangan ini daripada laporan-laporan yang terperinci: "Hari ini para awak telah mencapai batas ketahanan mereka; besok batas itu akan terlampaui." Sekalipun diperintahkan dengan tegas oleh Markas Besar untuk melanjutkan operasi, Doorman tetap menuju ke pangkalan.

Namun ketika iringan kapal perang tersebut mulai memasuki alur perairan menuju pelabuhan yang bebas ranjau pada pukul 15.00, datang berita dari Rembang bahwa konvoi kapal musuh terlihat di sebelah utara Surabaya di sekitar Pulau Bawean. Helfrich memerintahkan mereka untuk menyerang musuh di sebelah timur Bawean. Kapal bendera De Ruyter yang ditumpangi Laksamana Doorman tiba-tiba memutar haluan ke arah utara sambil memberi isyarat: "Ikuti kami. Musuh sudah 90 mil di depan."

Laksamana yang epnat dengan kesatuannya yang kelelahan dan awak kapal yang sudah mendekati batas ketahanan mereka, tidak mempunyai pilihan lain kecuali keluar lagi dari perairan pelabuhan untuk menjumpai musuh dan bertempur habis-habisan. Sebagian besar perwira diam-diam menyadari apa yang akan terjadi dalam pertempuran yang menanti mereka.

Laksamana Doorman pun menyadari bahwa dia melakukan operasi bunuh diri. Tuturnya: "Beberapa jam lagi, aku akan menjadi makanan ikan."

Karena datangnya perintah yang tiba-tiba dari Markas Besar, Doorman tidak sempat merancang rencana pertempuran. Apalagi untuk membagikannya kepada kapal-kapalnya. Di samping itu terjadi kekacauan dan kelambatan karena setiap isyarat harus diterjemahkan. Konon, satu-satunya isyarat yang pernah diterima oleh kapal lain dari panglimanya hanyalah: "Kami menyerang. Ikutilah kami."

Tujuan Doorman cukup sederhana, dia berusaha menghindari kapal-kapal perang Takagi untuk menghancurkan kapal-kapal angkut yang berjajar di sebelah utara. Di pihaknya, Takagi tentunya berusaha untuk mencegah hal ini dan melapangkan jalannya pendaratan ke Jawa.

Susunan tempur pihak Sekutu adalah sebagai berikut: di baris terdepan tiga perusak Inggris, yaitu Encounter, Electra dan Jupiter; di belakangnya adalah De Ruyter (kapal bendera Doorman), diikuti oleh Exeter, Houston, Perth dan Java, dua kapal perusak Belanda, Witte de With dan Kortenaer, di sayap kiri; serta empat kapal AS, John D. Edwards, Alden, John D. Ford dan Paul Jones di belakang.

Armada Sekutu itu dipergoki oleh armada Jepang pimpinan Laksamana Tagaki yang terdiri atas empat kapal penjelajah dan 13 kapal perusak yang melindungi pasukan penyerbu pada pukul 16.15. Takagi, yang biasanya terlalu berhati-hati, kini meninggalkan kebiasaannya itu dan memerintahkan kapal-kapalnya untuk menembaki musuh ketika mereka telah memasuki jarak tembak 28.000 yard dari kapal penjelajah berat Nachi dan Haguro.

Kemudian kapal-kapal Jepang dengan cepat melakukan pengepungan dan menembakkan 43 torpedo, tetapi semuanya berhasil dihindarkan. Kedua lawan itu berlayar ke arah barat dengan kecepatan 25 knot sambil menembaki, tetapi tidak ada yang kena.

Laksamana Nishimura.

Pada pukul 17.08, Exeter terkena tembakan meriam kaliber delapan inci sehingga kecepatannya berkurang dan keluar dari garis pertahanan. Houston, Perth dan Java mengira bahwa Doorman memerintahkan untuk berbelok ke kiri (mereka tidak dapat melihat kapal panglima karena asap pertempuran) sehingga  mengikutinya. De Ruyter pun berbuat hal yang sama. Akibatnya, satuan kapal perang Sekutu menjadi tercerai-berai dalam pola yang tidak beraturan di tengah medan tembak torpedo Tanaka. Laksamana Jepang itu memanfaatkan kesempatan ini tanpa ayal lagi. Pada pukul 17.15, Kortenaer tertembak, meledak, pecah menjadi dua, lalu tenggelam.

Satu jam kemudian giliran Electra yang tenggelam setelah berhasil mengenai Jintsu. Jupiter dengan terseok-seok mundur dari pertempuran. Kapal tersebut segera diikuti oleh Exeter yang diperintahkan kembali ke pangkalan oleh Doorman dengan pengawalan Witte de With. Dalam situasi yang sangat berbahaya ini skuadron Sekutu menuju ke selatan dan malam pun tiba.

Houston ditemani oleh Perth, berusaha menuju ke Batavia di bawah perlindungan kegelapan. Berjuang untuk berlabuh, Jupiter yang rusak berat meledak sekitar empat mil jauhnya dari pantai. Kapal tersebut memasuki ladang ranjau yang dipasang sebelumnya oleh AL-nya sendiri. Exeter dan Witte de With lebih beruntung. Pada pukul 23.00, keduanya dengan selamat bersandar di Pelabuhan Surabaya dan menyiapkan kembali kedua kapal tersebut untuk bertempur lagi.

Laksamana Doorman, di atas De Ruyter, diiringi oleh Java, membuntuti konvoi lawan. Beberapa saat menjelang tengah malam, mereka berhadapan dengan dua kapal penjelajah dan beberapa kapal perusak milik Jepang.

USS Houston dan De Ruyter dihujani tembakan kapal-kapal perang Jepang di lepas pantai Kangean, 4 Februari 1942, 


Pada jarak 8.000 yard, kapal-kapal Belanda itu hancur terbakar oleh tembakan-tembakan meriam dan torpedo musuh. Java tenggelam dalam 15 menit, De Ruyter mengalami nasib yang sama tiga jam kemudian, dengan membawa seorang panglima, yang seperti dikatakan seorang perwira AS yang berduka cita, memiliki "lebih banyak keberanian daripada otak."

Houston dan Perth, yang lolos setelah Pertempuran Laut Jawa, tidak pernah mencapai Batavia. Mereka dipergoki oleh Jepang di Selat Sunda dan ditenggelamkan pada dini hari tanggal 1 Maret.

Bencana berlanjut. Exeter yang telah mengalami kerusakan diiringi oleh kapal perusak Encounter dan Pope mencoba untuk meloloskan diri ke arah barat. Karena kelihatan, akhirnya disergap oleh empat kapal penjelajah Jepang, ketiganya pun tenggelam pada tengah harinya.

Foto udara Jepang yang menampakkan tenggelamnya Exeter


Di selatan Jawa, Langley (kapal induk pertama AS), yang membawa pesawat-pesawat pemburu dari Australia, diserang oleh pesawat-pesawat pembom musuh yang berpangkalan di Bali sehingga tenggelam. Nasib yang sama dialami oleh kapal tanki Pecos, yang membawa para korban yang selamat dari Langley, beserta kapal Pillsbury dan Edsall.

Hanya dalam waktu tiga hari saja, angkatan laut dan pasukan udara Jepang telah menghancurkan lebih banyak kapal Sekutu daripada yang mereka capai di Pearl Harbor. Di dasar perairan tenang Laut Jawa yang menipu, bersemayang bangkai lima kapal penjelajah, tiga belas kapal perusak Sekutu beserta mayat ribuan perwira dan pelautnya. Sebaliknya, Jepang tidak kehilangan satu pun kapalnya. Kerugian yang dideritanya hanyalah kerusakan yang tidak berarti pada sebuah kapal perusak.

"Angkatan Laut Jepang," demikian pernyataan ahli taktik dari Departemen Seni dan Sejarah Militer di Akademi Militer AS, "membuktikan dengan meyakinkan bahwa mereka bukanlah Angkatan Laut bak mandi."

Pertempuran di Laut Jawa ini menentukan sekali, walaupun apabila dilihat dalam kerangka Perang Dunia II hampir sama sekali tidak disebut-sebut. Kapal-kapal Belanda hampir semuanya tenggelam dan kekuatan Angkatan Laut Belanda selama Perang Dunia II tidak berarti lagi atau hampir tidak ada lagi. Tentu hal ini pada tahun 1945 merupakan sesuatu yang amat penting. Apabila ada Angkatan Laut Belanda maka mungkin sekali Helfrich maupun perwira-perwira Belanda lainnya akan mencoba menduduki kota-kota penting di Indonesia sebelum Sekutu mendarat untuk mencoba mendirikan lagi kewibawaan Hindia Belanda. Namun kejayaan Belanda telah berakhir pada tanggal 27 Februari  pukul 23.30, karena seperti yang kita lihat, kapal-kapal Sekutu yang tenggelam itu sebagian besar merupakan kapal Belanda. Pengorbanan para pelaut Belanda dan Sekutu lainnya dalam Pertempuran di Laut Jawa paling banyak hanya menunda tujuh jam pendaratan Jepang di Pulau Jawa. Hanya seminggu lebih sedikit, semua perlawanan di Hindia Belanda runtuh dan wilayah jajahan Belanda yang kaya itu beralih tangan ke pihak Jepang.

Akibat dari kekalahannya itu, Belanda kehilangan mahkota jajahannya. Dengan demikian berakhirlah era kolonial Belanda dalam sejarah Indonesia. Dalam pemeo orang Belanda pada masa itu terkenal ucapan: "Indie verloren, ramspoed geboren". Artinya, "Hindia Belanda hilang, bencana datang."

Akan tetapi pemeo itu bagi bangsa Indonesia bisa diubah dengan kalimat lain sebagai berikut: "Indie verloren, Indonesia geboren"—atau "Hindia Belanda hilang, Indonesia lahir." Hal ini baru terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

"Chilla Goodchap: Kapal Kami Terkena Empat Torpedo". Suara Pembaruan, 2 Maret 1992.

"Laut Jawa 1942". TSM No. 6 Tahun I/1987.

"Komando ABDA". Intisari, Februari 1982.

Nino Oktorino, Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013

Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia, 1989.

The Navy Times (ed.), Operation Victory: Winning the Pacific War. New York: G.P. Putnam's Sons, 1968.

"Peringatan 50 Tahun Pertempuran Selat Sunda Berlangsung Unik." Suara Pembaruan, 2 Maret 1992.

"Pertempuran Laut Jawa 40 Tahun yang Lalu". Intisari, Februari 1982.

"Sekali Kalah dalam Pertempuran di Laut Jawa, Belanda Kehilangan Hindia Belanda". Buana Minggu, 27 Februari 1992.

Soetanto, Himawan, "Akhirnya Penyerangan ke Pulau Jawa". TSM, No. 63 Tahun VI September 1992.

Soetanto, Himawan, "Setengah Abad Hindia Belanda Menyerah kepada Jepang." Suara Pembaruan, 7 Maret 1992

Wheeler, Keith, dkk., Perang di Kedalaman Pasifik. Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya. Jakarta: PT Tira Pustaka, 1986.  

 

 

Temukan kisah lebih lengkap tentang Pertempuran di Luat Jawa dalam buku:



Selasa, 25 Juli 2023

KB ALA NAZI

Seorang anggota SS dan sekumpulan gadis dari BDM (Bund Deutscher Mädel, atau Liga Da­ra Jerman). Besarnya angka hubungan di luar nikah di kalangan BDM menimbulkan sejumlah lelucon jorok tentang kepanjangan nama organisasi itu  seperti ”Bald Deutscher Mütter” (”Segera Menjadi Ibu Jerman”), ”Bubi drück Mich” (”Tindih aku, Yang”), ”Bedarfsartikel Deutscher Männer” (”Barang Milik Pria Jerman”), atau ”Bund Deutscher Milchkühe” (”Liga Susu Pe­ras Jerman”)


Oleh Nino Oktorino

Kaum Nazi (Nationalsozialis) Jerman pimpinan Adolf Hitler tidak mengenal hak asasi orang lain. Eropa hendak mereka ubah menjadi Walhalla (balairung megah) Jerman, yang khusus hanya akan dihuni oleh ras super, keturunan bangsa Aria (orang Eropa murni yang bukan keturunan Yahudi). Untuk itu, jutaan orang yang dianggap tidak super (termasuk penentang cita-cita gila itu) disingkirkan di berbagai kamp konsentrasi. Rakyat Jerman yang pro (atau yang melempem, pasrah saja) didorong untuk menjalankan program KB. KB-nya tidak berarti KB keluarga berencana seperti di Indonesia, tetapi KB dalam arti keluarga besar.


Bonus untuk keluarga beranak banyak

Untuk membawa penduduk Drittes Reich (“negara ketiga” impian kaum Nazi) sampai mencapai jumlah yang diinginkan Hitler (120 juta jiwa pada tahun 1980), para pejabat ditugaskan melakukan berbagai cara untuk mendorong angka kelahiran anak di kalangan rakyat. Cara yang paling umum ialah memberikan pinjaman uang kepada para pasangan suami-istri, ketika mereka menikah. Dengan kelahiran setiap anak, seperempat dari jumlah utang yang sudah mereka ambil dihapus. Jadi, keluarga yang sudah beranak empat tidak perlu membayar utang lagi. Keluarga beranak tiga atau lebih, juga menerima tunjangan bulanan sampai anak mencapai umur 21 tahun. Selain itu, keluarga besar juga memperoleh prioritas memiliki rumah yang layak di wilayah kota. Kegemaran Partai Nazi memberi medali bagi setiap jasa dan pelayanan kepada Drittes Reich juga diterapkan dalam program KB itu. Mereka memberi medali emas kepada setiap ibu yang “menyumbangkan” delapan anak atau lebih kepada negara.

Penghargaan medali "Mother's Cross" yang menghasilkan lebih dari empat anak bagi program "KB" Hitler.


Ketika PD II meletus dan Jerman terlibat perang, tuntutan kaum Nazi agar para keluarga Jerman menghasilkan anak lebih banyak lagi, semakin meningkat. Seperti dikatakan Reichsfuhrer SS (pemimpin Schutstaffel) Heinrich Himmler yang ditunjuk memimpin program KB itu, setiap keluarga harus mempunyai empat orang anak. Dua orang biar mati menjadi mangsa peluru di medan perang, dan sisanya harus melanjutkan keturunan untuk partai. “Jangan lupa!” katanya patriotik, “Kekuatan senjata saja tidak akan menjamin eksistensi suatu bangsa. Sumber kesuburan yang tiada habisnya juga perlu! Bersikaplah sesuai dengan itu, sehingga kemenangan senjata Jerman bisa diikuti oleh kemenangan anak-anak Jerman.”

Bersamaan dengan itu, Himmler juga giat berkampanye untuk menentang setiap praktik yang menghambat angka kelahiran. Memakai kontrasepsi, melakukan aborsi, memelihara binatang rumahan (seharusnya memelihara anak), dan melakukan homoseksual dianggap kejahatan terhadap nusa dan bangsa. Himmler bersikap keras terhadap kaum homoseks. Keponakannya sendiri (seorang perwira SS fanatik) yang terjerumus dalam “kejahatan” itu, dia jatuhi hukuman mati di kamp konsentrasi Dachau. Ia khawatir sekali memikirkan kerusakan yang akan timbul akibat perang terhadap sumber genetik bangsa Jerman. Para prajurit (keturunan yang paling baik) bisa terbunuh dalam jumlah besar, sehingga bisa mengancam masa depan bangsa Jerman. Bunga bangsa satu generasi sudah hancur dalam PD I sebelumnya, dan kini suatu generasi lainnya akan terancam. Jadi, ketika PD II pecah tahun 1939, Himmler melakukan berbagai tindakan luar biasa untuk mencegah bencana semacam itu.

Merendahkan martabat

Beberapa tahun sebelum PD II pecah, Himmler sudah memerintahkan Kantor Ras dan Pemukiman Kembali SS, untuk menyusun program penciptaan ras unggul dalam jumlah besar. Jumlahnya 600 resimen dalam waktu 30 tahun. Untuk itu, para pejabat program Lebensborn (Sumber Kehidupan) membangun ratusan ribu rumah bersalin di seluruh Jerman Raya, dan mendorong semua wanita muda (baik yang sudah menikah maupun yang belum) untuk menghasilkan anak sebagai tugas mulia bagi sang Fuhrer Adolf Hitler.

Para wanita muda yang dari segi ras sangat berharga, didorong untuk berhubungan intim dengan anggota pasukan SS yang asal-usulnya sebagai ras “Aria” telah diketahui dengan pasti. Menurut kaum Nazi, ras Aria adalah orang Eropa Utara asli. Himmler juga memerintahkan para anggota SS untuk menghasilkan banyak anak dari istrinya. Jika perlu juga diberi surat tugas untuk lebih dulu meniduri para wanita berusia 30 tahun ke atas (yang tidak beranak), sebelum menghadapi maut di medan perang. Himmler menjamin, anak-anak haram hasil hubungan di luar nikah itu dianggap sah. Anggota SS menanggapi perintahnya dengan patriotik. “Kini tidak ada rasa malu lagi untuk mempunyai anak haram!” tulis seorang prajurit SS kepada teman gadisnya. “Ini hadiah besar yang menggembirakan bagi ibu Jerman!”

Seorang wanita yang telah diindoktrinasi menyatakan, “Kami akan melupakan diri untuk memperoleh pengalaman emosional yang berbunga-bunga dalam menghasilkan anak, dengan menemani tidur para pemuda sehat, tanpa perlu memikirkan pernikahan.” Untuk membuat anggota SS bisa berhubungan dengan para wanita, diselenggarakan pertemuan sosial oleh sejumlah organisasi Nazi. Pertemuan seperti ini terjadi di kamp olahraga, balai pertemuan, dan rapat akbar tahunan Partai Nazi di Neurenberg. Pernikahan biologis (kata pemanis bagi hubungan zinah itu) pada rapat akbar tahun 1936 menghasilkan hampir 1.000 kehamilan patriotik.

Dua orang perawat di sebuah fasilitas Lebensborn. Mereka juga harus menyumbangkan anak di fasilitas "peternakan manusia SS" tersebut.

Wanita yang mengandung anak dari seorang pemuda yang tidak diragukan rasnya, atau (lebih baik lagi) dari seorang perwira SS, berhak melahirkan anaknya di pusat Lebensborn yang mewah. Di antaranya banyak yang berupa hotel peristirahatan, tempat pemandian air panas alami, atau vila mewah hasil sitaan. Orang Jerman yang masih waras, dan tidak setuju dengan gerakan sinting Himmler, menyebut rumah bersalin biologis semacam itu rumah peternakan manusia. Kalau sang ibu tidak ingin merawat anak haramnya, para pengurus Lebensborn akan menyerahkannya kepada keluarga yang mau. Acap kali, ayah kandung anak haram itulah yang mengadopsinya, agar ia terlihat meningkat jumlah anggota keluarganya, sesuai dengan keinginan Adolf Hitler. Ia pasti tambah gembira!

Menculik anak

Setelah menyerbu Polandia, Himmler benar-benar meningkatkan program Lebensborn-nya. Meskipun secara etnik orang Polandia itu keturunan bangsa Slavia, yang menurut ideologi Nazi bukan ras super, namun penampilan fisik anak Polandia yang berambut pirang dan bermata biru itu meyakinkan Himmler bahwa mereka berdarah Nordik (salah satu bagian dari ras kulit putih Eropa Utara). Karena itu, ia manyarankan kepada Hitler agar anak-anak seperti itu yang sudah berusia antara 6-10 tahun dibawa ke Jerman dan dibesarkan sebagai orang Jerman. Hitler setuju. Hasilnya, lebih dari 200.000 anak Polandia diambil paksa untuk dijermanisasikan.

Fridda dari grup musik legendaris ABBA, merupakan salah satu anak yang dihasilkan program Lebenborn.


Kebanyakan anak yatim piatu, anak prajurit Polandia yang gugur di medan perang, atau anak haram dari hubungan gelap wanita Polandia dan pria Jerman penakluknya. Beberapa di antara mereka mau saja dijermanisasikan, dengan harapan bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tetapi yang lain terpaksa mau, karena takut dihukum penguasa Nazi. Banyak pula yang diculik secara paksa. Ketika mereka menyelamatkan diri dari sweeping pasukan SS, kaum Nazi mengerahkan para wanita yang sudah dilatih secara khusus sebagai penculik, untuk “mengamankan” mereka. Dengan cara ini, Himmler berharap dapat meningkatkan penduduk Jerman keturunan Nordik dengan 30 juta orang tambahan pada tahun 1980.

Kenyataannya, tidak begitu! Program Nazi untuk memperbanyak penduduk Jerman, tidak bisa mengganti jumlah korban militer dan sipil Jerman dalam perang. Jumlahnya mencapai 6.000.000 orang sebelum perang berakhir. Perang berakhir terlalu cepat, sebelum anak-anak hasil program KB Nazi itu sempat dikirim ke garis depan. Tetapi sebaliknya, ribuan orang kehilangan masa kecilnya yang bahagia, keluarganya, bahkan nyawanya. Alih-alih memberi kemenangan bagi anak-anak impian Hitler, kaum Nazi menyebar maut dan kesengsaraan saja.

[Artikel ini pernah diterbitkan di majalah Intisari, Desember 2000]