Rabu, 26 Juli 2023

MARSOSE DI MALAKA: Sebuah Aksi yang Terlupakan



Sebuah patroli Marsose di Aceh: Ikut bertempur di Malaya selama awal Perang Pasifik.


Korps Marechaussee te Voet, atau Marsose, adalah sebuah jawatan elite KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda)  yang dibentuk untuk tugas-tugas pengamanan dan kontra-gerilya di Hindia Belanda pada masa kolonial. Namun, mereka juga pernah ditugaskan di luar negeri, yaitu di Malaya pada masa Perang Pasifik. Bertempur dengan gagah berani, salah satu di antara mereka kemudian mendapatkan sebuah medali militer tertinggi Belanda, 

Pasukan Ekspedisi Belanda di Malaya

Penugasan Marsose ke Malaya diambil oleh Belanda sebagai penerapan kebijakan pemerintah kolonial untuk mempertahankan "Hindia Belanda seutara mungkin." Sejak awal abad ke-20 sendiri, Belanda mengandalkan Inggris untuk menjadi perisai pertahanan kepulauan Indoaesia dari ancaman yang datang dari utara, terutama ambisi ekspansionis Jepang. 

Setelah penenggelaman kapal tem­pur HMS Prince of Wales dan kapal pen­jelajah HMS Repulse dan pendaratan Jepang di Malaya pada bulan Desember 1941, Batavia, atas permintaan Inggris, mengirim­kan kesatuan-kesatuan tambahan untuk memperkuat pertahanan Semenanjung Malaya guna mempertahankan Hindia Belanda se­utara mungkin. Perkembang­an itu me­nyebabkan dua per tiga dari kekuatan pesawat pembom dan seper­empat pe­sawat pemburu milik ML-KNIL (Militaire Luchtvaart van het Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, atau Pasukan Udara KNIL) ber­ada di bawah komando tak­tis Koman­do Timur Jauh RAF yang dipusatkan di Palembang dan Pekan­baru. Selain itu, MLD  (Marineluchtvaartdienst, atau Jawatan Penerbangan Angkatan Laut) mendapat­kan tanggung jawab untuk mengawasi wilayah perairan dari Kuantan, Natuna Besar hingga Kuching. 

Pada bulan Desember 1941, sekitar 100 orang prajurit Marsose dari Aceh, yang disusun dalam empat brigade, di­kumpulkan di Medan. Pada tanggal 14 dan 15 Januari, detasemen yang di­pimpin oleh Kapten T.J.W.F.M. Supheert ini diter­bangkan ke Si­ngapura. Detase­men yang terlatih da­lam perang di hutan tersebut kemudian di­kirimkan ke Labis, Johor Utara, untuk menggang­gu garis komunikasi Jepang di sekitar ko­ta Ajer Panas. 

Memecundangi Pasukan Jepang

Sekalipun prajurit Jepang telah ber­pengalaman dalam perang modern di China, mereka—sebagaimana ditemu­kan oleh Supheert—bukannya tidak ter­kalahkan. Selain itu, berlawanan de­­ngan mitos yang diyakini oleh pasu­kan Sekutu, serdadu Jepang pun bukan prajurit terlatih dalam perang di hutan. Dalam la­poran tempurnya, Supheert menulis: "Karena pasukan Jepang dianggap sebagai petarung hebat, aku kemudian berusaha menghindari mereka. Namun, ternyata hal itu kemudian tidak diperlukan. Aku hanya perlu bergerak beberapa ratus me­ter dari jalan. Orang Jepang tidak masuk ke hutan, paling-paling mereka ber­pat­roli dengan sepeda yang dapat mele­wati hutan karet."
Pasukan bersepeda Jepang: Menjadi bulan-bulanan Marsose Belanda di Malaka.


Selama paruh kedua bulan Januari, pasukan Supheert tercatat berhasil me­newaskan banyak prajurit Jepang dan menimbulkan kerusakan material di ga­ris belakang musuh. Sebagian keber­hasilan ini diperoleh berkat dukungan penduduk Tionghoa setempat. Namun, mereka kemudian kekurangan bahan pangan dan mengalami kesulitan dari kelompok-kelompok penduduk Me­layu lokal yang anti-Inggris. 

Ketika Singapura jatuh, Supheert me­­mutuskan untuk membawa pasukan­nya kembali ke Sumatra. Ia kemudian memimpin sebuah patroli pengintai ke wilayah pantai Mesigit di Aceh untuk melaporkan keadaan pasukannya di Ma­­laka kepada asisten residen. Setelah itu, ia mengirimkan kembali salah satu anak buahnya yang terpercaya, Prajurit E. Isaac Irot,  ke Malaka untuk memba­wa pulang sisa-sisa detasemennya. 

Lolos dari Malaya

Prajurit kelahiran Menado tahun 1913, Irot adalah seorang prajurit bermental baja. Membawa sebuah sampan, Irot berhasil menerobos penjagaan pantai Jepang di Malaya dengan menya­mar sebagai seorang nelayan dan kemu­dian bersepeda untuk mendapatkan ke-28 orang rekannya yang tersisa. Ia kemudian memimpin mereka pulangf berlayar menuju Bengkalis di Riau dalam keadaan cuaca buruk. 
Prajurit E. Isaac Irot.

Para pelarian itu membagi diri ke dalam dua kelompok. Sebuah ke­lompok dipimpin oleh Letnan M.K. Kroon sementara yang lainnya di ba­wah Irot. Mereka kemudian pergi ke Indra­pura. Karena terjadi badai, Irot memutuskan memasuki sebuah sungai kecil dan mengirimkan sinyal ke pera­hu yang ditumpangi Kroon di pantai. Mereka akhirnya berhasil mencapai Indrapura, bergabung dengan pasukan Belanda kembali untuk bertempur lagi sebagai gerilyawan melawan pasukan Jepang yang menyerbu Pulau Sumatra.

Dari KNIL ke TNI

Irot sendiri kemudian ditawan oleh Jepang pada bulan April 1942. Dibebaskan tidak lama kemudian, Irot menemukan Kapten Supheert di sebuah kamp tawanan di Kabanjahe, Medan, dan diperintahkan oleh bekas atasannya itu untuk menjadi seorang kurir di antara para perwira yang ditawan. Ia berhasil mengontak Letnan Krron di kamp tawanan di Glugur, tetapi aktivitas ilegalnya ini tidak berlangsung lama setelah Jepang memperketat penjagaan di kamp-kamp tawanan. Irot  kemudian menghabiskan masa pendudukan Jepang dengan bekerja sebagai seorang kuli.

Setelah berakhirnya Perang Pasifik, Irot bergabung kembali dengan KNIL dan bertugas dengan Batalion Infanteri VI (Medan). Atas tindak kepahlawanannya di Malaka, pangkatnya dinaikkan secara luar biasa dari Prajurit Satu Marsose menjadi seorang sersan. Lewat sebuah Koninklijk Besluit pada tanggal 28 Februari 1947, ia juga dianugerahi medali Militaire Willemsorde kelas IV, yang disematkan di Medan oleh Mayor Jenderal P. Scholten pada bulan Februari 1947. Dalam komunike militernya, disebutkan bahwa Irot "telah memperlihatkan kemampuan terbaiknya di medan laga dengan menunjukkan keberanian, kebijaksanaan dan kesetian yang luar biasa. Ia bukan hanya memperlihatkan keberanian dalam pertempuran-pertempuran selama bulan Februari dan Maret 1942 di Malaka, tetapi juga pada masa di mana prajurit lainnya tidak berani menjalankan tugas-tugas yang berbahaya, di mana ia menjadi sukarelawan. Setelah Malaka jatuh ke tangan Jepang dan pasukan Marsose ditarik mundur ke Sumatra, Irot, setelah awalnya mendarat dengan selamat di Bengkalis bersama komandan dan sekelompok kecil pasukan, kemudian menjadi sukarelawan untuk kembali menyeberang ke Malaka. 

Ia kemudian memasuki daerah yang berbahaya di Malaka untuk memampukan penarikan sisa-sisa pasukan, yang, berkat kehati-hatian, kepemimpinan dan kebijaksanaannya, akhirnya seluruh pasukan yang tersisa dan perwiranya berhasil menyeberang dengan aman dari Malaka ke Sumatra".  

Irot sendiri kemudian bergabung dengan TNI sesudah Pengakuan Kedaulatan Indonesia tahun 1949. Ia wafat di Medan pada tanggal 12 April 2005.

Kisah Lengkap Pertempuran KNIL di Malaka dapat dilihat di buku berikut:






Tidak ada komentar:

Posting Komentar