Sabtu, 03 Juni 2023

HITLER SANG PECINTA

Adolf Hitler dan Eva Braun, gundik dan kemudian menjadi istri yang turut mati bersama sang diktator ketika Reich Ketiga runtuh.


Oleh Nino Oktorino

Nama Adolf Hitler identik dengan kekerasan dan kekejaman. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena kebijakan penaklukkan dan rasialis yang dilakukan rezim Nazi pimpinannya selama Perang Dunia II telah menjadikan Eropa sebagai kuburan raksasa. Akan tetapi di balik image monster yang menakutkan itu ada banyak sisi manusiawi dari pribadi diktator Jerman itu. Cerita mengenai kisah cintanya merupakan salah satunya.

Berlawanan dengan dugaan banyak orang, Adolf Hitler senang berada di tengah-tengah para wanita, terutama apabila mereka cantik. “alangkah indahnya dunia dengan keberadaan wanita!” demikian dia pernah berkata kepada para bawahannya. Dia kemudian memberikan contoh dari pengalaman pribadinya sambil sesumbar, “Di masa mudaku di Wina, aku mengenal banyak wanita yang menyenangkan.” Dunia hanya mengenal seorang wanita dalam kehidupan cinta Hitler, Eva Braun, yang bunuh diri bersamanya menjelang runtuhnya Jerman Nazi pada tahun 1945. Akan tetapi sebenarnya masih ada sederet wanita lain yang menghiasi kehidupan cinta sang fuehrer.

 Si Pungguk Merindukan Bulan 

Bisa jadi cerita cinta pertama Hitler terjalin dengan seorang gadis tetangganya di desa pada saat dia masih ABG (Anak Baru Gede). Pada suatu hari, Hitler dan gadis yang bekerja sebagai pemerah susu itu bermesraan di sebuah istal. Akan tetapi saat gadis yang rupanya agresif itu ingin bertindak lebih jauh, Hitler menjadi ngeri. Dia terbirit-birit kabur dari istal tersebut dan tidak sengaja menabrak ember susu hingga isinya tumpah.

Gadis berikutnya yang menarik perhatian Hitler bernama Stefanie. Ironisnya bagi diktator Nazi di masa depan tersebut yang kemudian dikenal sebagai tukang jagal Yahudi tersebut, gadis bernama lengkap Stefanie Isak (kemudian Rabatsch) itu adalah seorang keturunan Yahudi. 

Sobat kentalnya pada masa itu, August Kubizek, menceritakan bahwa Hitler yang dimabuk cinta itu sering menulis puisi-puisi cinta bagi gadis langsing itu. Kubizek menceritakan salah satu di antaranya, yang isinya antara lain berbunyi”

 Seorang gadis bangsawan (tidak lain dari Stefanie)

Dalam gaun biru gelap yang bergelombang,menunggang seekor kuda putih

di padang yang berbunga.

Rambutnya yang tidak terkuncir

tergerai bagaikan gelombang emas di bahunya.

Langit musim semi yang indah menaunginya.

Semuanya memancarkan kegembiraan yang murni.


Stefanie begitu memenuhi pikirannya sehingga apa pun yang dikatakan, dilakukan, atau direncanakan oleh Hitler muda bagi masa depannya, semuanya berpusat pada gadis pujaannya itu. Akan tetapi Hitler tidak berani mengirimkan puisi-puisinya kepada Stefanie. Apalagi ‘menembaknya’ dengan kata sakti ‘Ich Liebe dich”. Pada kenyataannya, tidak sekalipun keduanya pernah berbicara. Walaupun demikian, Hitler dengan ge-ernya menyatakan kepada Kubizek: “Kami tidak perlu bicara, bahasa mata saja sudah jelas.”

Stefanie Isak (kemudian Rabatsch), gadis Yahudi Wina dari keluarga kelas atas: Bulan yang dirindukan si pungguk Hitler. 

Tetapi rupanya Stefanie bukan hanya tidak mengetahui perasaan Hitler namun juga sama sekali tidak mempedulikannya. Hitler tidak menginsyafi bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan hingga dia mendengar kabar bahwa idaman hatinya bertunangan dengan seorang letnan. Kontan saja Hitler terpukul dan bermaksud bunuh diri dengan melompat dari jembatan di atas Sungai Donau. Edannya, dia juga ingin Stefanie ikut nyemplung.  Bahkan dia sudah menyiapkan rencana terperinci untuk “pakta bunuh diri” ini dan mengajak Kubizek sebagai saksi dari peritiwa dramatis ini.

Untungnya, sebelum ide gila tersebut dilakukan, Hitler harus pergi ke Wina untuk mendaftarkan diri ke Akademi Seni Rupa di sana. Selama tinggal di kota tersebut, Hitler dan Kubizek setiap minggunya ngeceng di hutan kota Wina dan cuci mata melihat gadis-gadis di sana. Ternyata, Hitler yang pendiam itu lebih menarik wanita dibandingkan Kubizek.

Cinta Sejati Yang Aneh

Pada awal karier politiknya, Hitler berhutang banyak pada dorongan sejumlah wanita seperti Frau Helene Bechstein, Frau Carola Hoffman dan Frau Winifred Wagner. Banyak wanita yang terkesan oleh daya hipnotisnya. Ada banyak laporan yang terpercaya mengenai histeria yang melanda kaum wanita pada rapat-rapat akbar Nazi, dan Hitler sendiri mengandalkan dukungan yang penting dari suara kaum wanita selama pemilu. Apabila ada tamu wanita yang hadir di mejanya, dia tahu benar bagaimana bersikap memberi perhatian dan menawan—jika dia sedang mood untuk melakukannya. Gosip pun menghubungkan namanya dengan sejumlah wanita yang seringkali terlihat bersamanya dan dengan bernafsu menggunjingkan hubungannya dengan mereka. Di antara wanita-wanita yang dipergunjingkan itu terdapat Henny Hoffman, anak perempuan juru foto pribadinya; Leni Riefensthal, sutradara film-film Rapat Akbar Nuremberg; dan Unity Mitford, ipar pemimpin Nazi Inggris Sir Oswald Mosley yang mencoba bunuh diri di Muenchen. Namun hanya dengan keponakan perempuannyalah Hitler, sejauh yang diketahui, benar-benar jatuh cinta.

Geli Raubal adalah anak perempuan dari saudara tiri satu ayah Hitler, Angela Raubal, yang diajak  pemimpin Nazi itu untuk mengurus rumah barunya di Obersalzberg pada tahun 1925. Saat itu Geli berusia 17 tahun, lugu dan menarik, dengan suara yang indah, di mana dia ingin mask sekolah menyanyi. Selama enam tahun berikutnya, dia menjadi pendamping tetap Hitler. Periode ini kemudian dikatakan Hitler sebagai masa yang paling indah dalam hidupnya. Dia memuja gadis yang usianya 20 tahun lebih muda darinya itu, membawanya ke manapun dia pergi. Pendeknya, Hitler jatuh cinta pada gadis itu.

Meskipun orang-orang dekatnya meminta agar berhenti muncul dengan pujaan hatinya itu di depan publik demi karir politiknya seraya mencoba meyakinkan public bahwa Hitler tidak lebih dari sekedar “paman pelindung” bagi Geli, Hitler sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Bisa jadi Hitler bermaksud menikahi keponakannya itu. Setelah perang, sejumlah pembantu dekat Hitler  mengatakan kepada penulis William L. Shirer bahwa pernikahan itu kelihatan tidak terelakkan. Mereka sama sekali tidak ragu bahwa Hitler benar-benar jatuh cinta. Apakah Geli membalas cintanya, hal itu tidak diketahui dengan pasti. Yang pasti, walaupun gadis itu senang didampingi oleh pamannya yang terkenal itu, namun dia menderita akibat kecemburuan Hitler yang membabi-buta. Hitler menolak memberikannya kehidupan pribadi: melarangnya ikut sekolah menyanyi di Wina dan menjadi murka ketika dia tahu bahwa Geli berhubungan Emil Maurice, sopir dan pengawal pribadi Hitler sendiri. Pendeknya, Hitler menginginkan Geli hanya bagi dirinya sendiri.

Hitler dan Geli Raubal: Kisah terlarang seorang paman yang mencintai keponakannya yang berakhir tragis.

Pertikaian itu akhirnya membawa korban. Pada pagi hari tanggal 18 September 1931, Geli Raubal ditemukan tewas tertembak di flat Hitler di Muenchen. Petugas koroner menyatakan bahwa kejadian tersebut akibat bunuh diri. Selama bertahun-tahun setelah peristiwa itu beredar gossip yang ditiup-tiupkan oleh musuh-musuh politik Hitler bahwa Geli sebenarnya dibunuh—oleh Hitler yang menjadi murka, oleh Himmler yang bermaksud menyingkirkan keadaan yang memalukan bagi partai. Akan tetapi tidak ada satupun bukti yang bisa dipercaya untuk mendukung isu-isu tersebut.

Hitler sendiri kelihatnnya sangat terpukul oleh kejadian itu. Dia meratap selama berjam-jam di depan makam keponakan yang dicintainya itu. Selama berminggu-minggu dia tidak mau bertemu siapapun dan berbicara hendak bunuh diri juga. Sejak saat itu dia juga tidak mau makan daging lagi, yang menurutnya “seperti makan bangkai.”

Sepanjang sisa hidupnya, Hitler tidak pernah berbicara mengenai Geli tanpa mengucurkan air mata. Menurut pernyataannya sendiri kepada sejumlah saksi mata, Geli adalah satu-satunya wanita yang pernah dicintainya. Para pelayannya bercerita bahwa ruangan Geli di Obersalzberg tetap pada keadaan seperti saat ditinggalkannya, bahkan setelah bangunan itu direnovasi saat Hitler berkuasa. Foto gadis itu dipajang  di ruangan Hitler di sana maupun di gedung kekanseliran di Berlin. Pada saat perayaan kelahiran dan kematiannya, setiap tahunnya selalu ada bunga diletakkan di sekitarnya.

Bagi seorang yang brutal dan jahat yang kelihatnnya tidak bisa mencintai orang lain ini, perasaan Hitler yang begitu mendalam kepada Geli Raubal ini merupakan salah satu misteri dari kehidupannya yang aneh. Dan seperti semua misteri, hal tersebut tidak bisa dijelaskan secara rasional selain hanya untuk diceritakan kembali saja.

Kekasih Yang Merana

Pada tahun 1932, di usianya yang ke-43, Hitler mengambil gula-gula yang usianya 23 tahun lebih muda darinya, Eva Braun. Walaupun tidak ada keraguan bahwa Hitler sangat menyukai wanita tersebut, hubungan keduanya berbeda levelnya dengan hubungan antara Hitler dan Geli Raubal. Hitler selalu menjaga agar wanita itu tidak nampak dan tidak ketahuan kepada umum. Hitler bahkan melarang Eva datang ke markas besarnya yang banyak itu, di mana pemimpin Nazi itu menghabiskan hampir semua waktunya. Walaupun wanita itu hidup mewah di vila Hitler di Obersalzberg—di  mana dia menghabiskan waktunya dengan berenang, main ski, membaca dan menonton film-fim picisan yang semuanya bertema cinta—hidupnya merana karena merindukan orang yang sangat dicintainya, yang sangat jarang datang.

“Dia adalah perempuan yang paling tidak bahagia di seluruh Jerman. Dia menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk menantikan Hitler,” demikian kata Erich Kempka, supir Hitler.

Pada tahun 1935, Eva mencatat dalam buku hariannya mengenai hubungannya dengan Hitler, “Dia hanya membutuhkanku untuk maksud-maksud tertentu saja.” Dengan pernyataan tersebut dia menuliskan kebenaran yang pahit. Bagi sang Fuehrer,  Eva—demikian pengamatan Heinrich Hoffman yang mencomblangi hubungan mereka—“hanyalah sekedar makhluk mungil yang cantik, di mana dia bisa merasa santai dan beristirahat.” Namun bagi Eva, Hitler adalah segala-galanya. “Kau tahu bahwa seluruh hidupku hanyalah untuk mencintaimu,” tulis wanita itu kepada Hitler dalam sebuah suratnya. Kehadiran Hitler yang jarang membuat Eva depresi dan dua kali berusaha bunuh diri.

Harapan terakhir Eva adalah menjadi istri Hitler. Namun sang Fuehrer, yang di depan publik selalu mengagung-agungkan pernikahan dan mencela hubungan di luar nikah, tidak menginginkan dirinya terikat pada pernikahan. “adalah hal yang bijaksana untuk memiliki gundik daripada menikah,” katanya kepada seorang rekannya. “Dengan demikian tidak ada beban yang harus dipikul dan semuanya adalah anugerah yang indah.” Namun dia buru-buru menambahkan, “Tentu saja hal ini hanya berlaku bagi orang-orang tertentu.”

Eva sendiri lambat-laun menerima juga peranannya yang kabur dan terbatas itu. Dengan ikhlas dia menerima juga kedudukan tidak sebagai istri maupun gundik yang sebenarnya, tetapi sudah merasa bahagia dengan kedudukan sebagai satu-satunya teman dari orang besar itu, walaupun jarang sekali bertemu atau hidup bersamanya.

Semenjak api peperangan berkobar, Hitler bersikap lebih lembut terhadap Eva. Bahkan mungkin pula sebagai pelindung yang tiada duanya bagi kekasihnya itu. Namun sebaliknya, terhadap orang lain jangan ditanya lagi: barangkali dia pula satu-satunya manusia yang paling kasar, paling brutal dan paling sewenang-wenang. Semenjak serangan udara Sekutu atas Jerman semakin gencar, Hitler menjadi sangat mengkhawatirkan Eva. Dia takut kalau kekasihnya itu terluka atau tewas terkena bom. Bahkan untuk menjaga keselamatannya, Hitler juga melarang kekasihnya pergi ke Muenchen untuk bermain ski, olahraga kesukaannya. Hitler khawatir kalau-kalau kaki Eva terkilir atau patah saat bermain ski.

Eva pun juga memikirkan keselamatan kekasihnya. Ketika Hitler bersikeras memimpin pasukannya walaupun kesehatannya memburuk, Eva berusaha mengggagalkan niatnya. Ketika Hitler menolak permintaannya dengan alasan dia tidak bisa menjilat kembali ludahnya, Eva menukas, "Ya, tapi kesehatannya lebih penting daripada kemenangan-kemenanganmu di berbagai front.”

Mendengar perkataan kekasihnya itu, Hitler tersenyum. “Kaulah orang pertama yang mengucapkan kata-kata itu Eva, dan kau jugalah orang pertama yang paling memperhatikan diriku,” ujar Hitler berterus-terang.

Selama Hitler menjadi tokoh yang paling disegani di Jerman, barangkali baru pada saat itulah dia berterus-terang tentang perasaannya.

Sampai Maut Memisahkan Kita

Menjelang runtuhnya Jerman Nazi pada bulan April 1945, Hitler memutuskan untuk bertahan di Berlin yang terkepung oleh pasukan Rusia. Namun dia tidak mengatakan apa-apa kepada Eva tentang rencananya itu. Sebaliknya, dia meminta kekasihnya itu tetap berada di Muenchen.

Akan tetapi Eva mengabaikan permintaan itu. Pada tanggal 15 April 1945, Eva tiba-tiba muncul di bunker Hitler di Berlin, memutuskan untuk berbagi nasib dengan sang kekasih. Kehadiran Eva menghibur Hitler yang sedang uring-uringan dengan kekalahan tentaranya. Kepada orang nomor satu Nazi itu, Eva berkata: “Jangan khawatir, aku akan selalu bersamamu. Apapun yang akan terjadi…. Aku tidak mau lagi berpisah darimu.”

Pada saat itu pula Hitler menggamit Eva, menyandarkan tubuhnya dan kemudian menciumnya dengan mesra. Orang-orang yang kebetulan melihat peristiwa tersebut benar-benar tertegun. Bertahun-tahun lamanya mereka mengenal Hitler namun baru saat itulah mereka melihatnya mencium Eva.

Kesetiaan yang ditunjukkan Eva akhirnya membuahkan hasil: sementara Hitler hampir kalah perang, dia diperoleh dan dimenangkan oleh Eva Braun. Menjelang fajar tanggal 29 April 1945, sebagai mahkota terhadap kesetiaan kekasihnya itu, Hitler memenuhi keinginan sang kekasih dan secara resmi menikahinya.

Dalam surat wasiat pribadinya, Hitler memberikan alasan tentang keputusannya itu: “Karena selama masa perjuangan saya tidak bia mengambil tanggung jawab untuk membentuk sebuah keluarga, kini pada akhir hidup saya di dunia ini, saya memperistri gadis muda yang bertahun-tahun hidup sebagai sahabat setia saya dan memutuskan sendiri untuk ikut saya ke kota yang sudah hampir terkepung agar bisa mendampingin saya. Dia akan mati bersama saya sebagai istri saya. Kematian akan memberikan kepada kami apa yang terhambat oleh karya-karya pengabdian kepada rakyat saya.”

Upacara pernikahan dilakukan dengan terburu, di mana Walter Wagner, pejabat kotapraja yang memimpin upacara tersebut, harus diambil dari garis depan yang hanya tinggal beberapa blok saja dari bunker. Kedua mempelai sama-sama bersumpah bahwa mereka adalah “keturunan ras Arya murni” dan “tidak memiliki penyakit keturunan yang dapat menodai pernikahan mereka,” sesuai dengan ajaran Partai Nazi.

Kemudian, dengan suara bergetar, Wagner menambahkan: “Sekarang saya akan mulai dengan upacara pernikahan. Di depan para saksi, saya bertanya, Fuehrer Adolf Hitler, apakah anda ingin mengikat pernikahan dengan Nona Eva Braun? Kalau memang demikian, saya minta anda menjawab ‘ya’”.

Hitler mengiyakannya. Demikian pula Eva saat pertanyaan yang sama ditanyakan kepadanya.  Setelah mereka dinyatakan menjadi suami-istri dan menandatangani akata bersama Wagner dan para saksi, upacara selesai. Acara kemudian dilanjutkan dengan Hochzeitsmahl (jamuan makan pengantin). Dihidangkan sampanye, sandwich dan the. Pesta dirayakan Sesuai dengan suasana. Setelah itu kedua mempelai pergi beristirahat.

Tanggal 29 April merupakan hari yang paling penting bagi Hitler dan istri barunya. Eva tampak berseri-seri saat muncul bersama Hitler untuk sarapan pada jam 11 siang. Para penghuni bunker tidak tahu bagaimana mereka harus memanggil Eva karena saat itu dia telah resmi menjadi istri sang fuehrer. Eva dengan mudahnya mengatakan kepada mereka, “Kalian boleh menyebutku Frau Hitler.” Walaupun hanya menyandang sebutan yang diimpikannya selama bertahun-tahun itu selama beberapa jam saja, Eva nampaknya amat berbahagia.

Menurut para saksi, menjelang kematiannya, rambut Eva nampak ditata begitu rapi dan kelihatan baru dikeramas. Dia mengenakan gaun kesenangan Hitler dan mengumbar senyum kepada mereka saat hendak berpamitan untuk terakhir kalinya. Akan tetapi di balik senyumannya itu tampak keganjilan yang sukar diungkapkan.

Usai bersalaman dengan para stafnya, pasangan suami istri itu kembali ke kamarnya dan menutup pintu. Selama beberapa menit di dalam ruangan pribadi Hitler tidak terdengar apa-apa. Hening sekali. Tiba-tiba terdengar suara letusan tembakan memecah keheningan yang mencekam itu.

Setelah terdiam selama beberapa saat, kelompok kecil orang yang berdiri di luar ruangan itu bersama-sama membuka pintu. Hitler nampak terbujur di sofa yang berlumuran darah: dia menembakkan pistol ke dalam mulutnya. Di sisi kanannya, Eva terbujur kaku karena menelan racun. Saat itu jam 3.30 sore tanggal 30 April 1945.

Sesuai perintah Hitler, jenazah mereka kemudian dibakar di halaman bunker. Bersamaan dengan api yang melalap tubuh mereka, cinta Hitler dan Eva lenyap ditelan angin.

Daftar Pustaka 

Bullock, Alan, Hitler: A Study in Tyranny. Bantam Books, 1958.

Infield, Glenn, Eva and Hitler. Grosset and Dunlop, 1974.

Shirer, William L., The Rise and Fall of the Third Reich. Simon and Schuster, 1960.

Toland, John, Adolf Hitler. Doubleday and Co., 1976.

Wykes, Alan, Hitler. Ballantine Books, 1976.