|
Letnan Jenderal Heinz Hellmich, kepala Ostruppen, menginspeksi sebuah batalyon Turkistan.
|
Keberadaan
orang-orang Asia dalam barisan tentara Nazi Jerman merupakan salah satu
peristiwa ganjil dalam Perang Dunia II. Pasalnya, kaum Nazi sangat meyakini
superioritas rasial dari ras Nordik-Arya. Pandangan tersebut tentu saja
berakibat bahwa ras lainnya hanyalah kelompok manusia rendahan yang bisa
ditindas atau disingkirkan sesuka hati mereka. Akan tetapi karena dalam politik
tidak ada lawan maupun kawan abadi, maka demi tujuan mereka sendiri kaum Nazi
dan sejumlah orang Asia mengikat diri dalam suatu persekutuan yang aneh. Inilah
kisahnya.
Singa Gurun Pasir
Timur
Tengah secara geografis dan historis selalu bersinggungan dengan Eropa. Ketika
Perang Dunia I berakhir, wilayah tersebut diliputi oleh ketegangan akibat
dipecah-belahnya Dunia Arab ke dalam wilayah pengaruh Inggris dan Prancis serta
ancaman kaum Zionis yang hendak mendirikan kembali negara Israel di Palestina.
Karenanya bukanlah hal yang mengherankan apabila Nazi Jerman berusaha mengambil
keuntungan dari situasi ini.
Sikap
permusuhan Nazi terhadap Sekutu dan kaum Yahudi mendapatkan banyak dukungan di
kalangan politisi Arab. Segera partai-partai yang bergaya dan mendukung Nazi
muncul di Dunia Arab. Hisb-el-Qaumi-el-Suri, atau Partai Nasional
Sosialis, adalah partai tiruan Nazi di Syria. Partai yang memiliki
bendera dengan lambang swastika di atas warna hitam-putih ini memimpikan suatu
negara Syria Raya yang meliputi wilayah antara Sungai Eufrat di utara dan
Terusan Suez di selatan, termasuk Pulau Siprus. Di kalangan anggotanya, Adolf
Hitler dikenal sebagai “Abu Ali”.
Pemimpin
Persaudaraan Muslim di Mesir, Hassan al-Bana, juga pengagum Mussolini maupun
Hitler. Bahkan propaganda gerakan tersebut berusaha menarik dukungan bagi pihak
Poros dari kalangan rakyat Arab dengan menyebarkan isu bahwa Mussolini
sebenarnya adalah seorang Muslim Mesir bernama Musa Nilli (Musa dari Sungai
Nil), dan bahwa Hitler telah masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Hayder
(si pemberani).
Akan
tetapi tokoh Arab yang paling berhasil dalam menjalin hubungan dengan pihak
Poros adalah Mufti Besar Yerusalem, Haji Amin el Husseini. Lari dari
tanah kelahirannya di Palestina setelah memberontak terhadap penguasa Inggris,
Husseini melakukan intrik di Irak untuk membawa negeri 1001 malam itu memihak
kekuatan Poros. Akan tetapi upayanya gagal karena Inggris menggulingkan
pemerintahan pro Poros pimpinan Rashid Ali di Baghdad sehingga dia mencari
perlindungan ke Berlin.
Hitler
sebenarnya memandang rendah orang Arab, yang digambarkannya sebagai “makhluk
berkilap setengah kera yang harus dicambuk”. Akan tetapi pandangannya berubah
ketika dia bertemu dengan sang mufti. Dengan rambut merah dan mata birunya,
sosok sang mufti membuat Hitler—dengan segala kegilaannya tentang ras unggul
yang berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru—berkomentar: “Dia
memberikan kesan seorang manusia yang leluhurnya lebih dari satu orang Arya dan
mungkin berasal dari darah terbaik orang Romawi” (Hitler menganggap orang
Yunani dan Romawi kuno sebagai leluhur Arya orang Jerman). Hal tersebut maupun
fakta bahwa keduanya memiliki musuh bersama membuat Hitler dan sang mufti
sepakat untuk bekerja sama.
|
Mufti Besar Yerusalem dan Adolf Hitler |
Atas
persetujuan Hitler, sebuah pemerintahan Pan Arab yang membawahi 400 juta orang
Arab—paling tidak di atas kertas—dibentuk di Berlin, di mana Husseini menjadi
“perdana menterinya”. Dengan dana dan dukungan kaum Nazi, Husseini menyampaikan
propaganda lewat radio untuk mendorong orang Arab maupun kaum Muslim di seluruh
dunia untuk mendukung pihak Poros. Dia juga membantu Hitler untuk merekrut para
sukarelawan Muslim dari Balkan dan Uni Soviet ke dalam Tentara Jerman.
Husseini
juga berusaha membentuk sebuah “Legiun Arab” yang akan bertempur bersama-sama
orang Jerman untuk membebaskan seluruh Tanah Arab. Meskipun Hitler menyetujui
rencana tersebut pada bulan Januari 1942 akan tetapi rencana tersebut tidak
berjalan mulus karena pemerintah Vichy Prancis yang pro Jerman menolak izin
perekrutan orang Arab dari wilayah jajahannya di Afrika Utara. Namun yang lebih
menentukan adalah kekalahan Jerman di El Alamein yang bukan hanya menghilangkan
ancaman Jerman di Timur Tengah namun juga melenyapkan kesempatan bagi Husseini
untuk melakukan parade kemenangan di Yerusalem dan menarik pengikutnya untuk
bergabung dalam jumlah besar di pihak Poros. Akibatnya “Legiun Arab” yang
dimaksudkan Husseini tidak lebih di atas kertas saja dan tidak pernah
berkekuatan lebih dari 5.000 orang.
|
Seorang perwira Jerman dan sukarelawan Arab di Tunisia. |
Kebanyakan
anggota dari legiun sang mufti berasal dari tawanan perang Arab yang sebelumnya
berdinas dalam tentara kolonial Prancis dan Inggris serta dari unit-unit
pekerja asing. Mereka cenderung sangat melek dalam hal politik dengan kesetiaan
kepada sang mufti atau saingannya, Rashid Ali, yang juga mengasingkan diri di
Berlin. Beberapa di antara prajurit Arab ini dikirim ke Kaukasus untuk
mengantisipasi suatu terobosan Jerman melalui wilayah tersebut ke Timur Tengah,
namun tidak pernah terlibat pertempuran di sana. Sejumlah orang lainnya dikirim
ke Tunisia pada tahun 1943 untuk memperkuat beberapa batalyon Arab yang lemah,
yang dibentuk untuk tugas-tugas penjagaan maupun kerja kasar. Yang lainnya
dilatih sebagai penyabot di Belanda oleh Otto Skorzeny yang terkenal. Batalyon
Infanteri Arab-Jerman ke-845 bertugas di Yunani untuk menjaga keamanan dan
memerangi kaum partisan. Sejumlah kecil di antara mereka kemudian
berpartisipasi dalam mempertahankan Berlin menjelang berakhirnya perang.
Demi
Turki Raya
Dibandingkan
upayanya untuk merekrut orang Arab, upaya Husseini untuk menarik dukungan kaum
Muslim bagi Hitler jauh lebih berhasil. Di antara para sukarelawan Muslim yang
menanggapi seruan Husseini itu terdapat kaum Muslim Soviet yang berasal dari
Asia Tengah.
Seperti
yang kita ketahui, (eks) Uni Soviet adalah sebuah kemaharajaan raksasa yang
meliputi Eropa Timur serta Asia Utara dan Tengah dan terdiri atas berbagai
kelompok etnik dan agama, yang didominasi oleh orang Rusia. Orang Rusia, dalam
wujud terakhirnya rezim Soviet, telah menghancurkan kemerdekaan Turkestan yang
singkat setelah keruntuhan ketsaran Rusia pada tahun 1924. Ketegangan etnik
tersebut tidak pernah surut, dan saat Jerman menyerbu Uni Soviet pada bulan
Juni 1941, mereka menemukan ribuan tawanan perang Soviet asal Asia Tengah yang
sangat ingin bergabung dengan Jerman untuk melawan pemerintahnya.
|
Wajah-wajah Asia Mongoloid yang menjadi anggota Legiun Turkistan |
Hitler,
yang ingin menarik Turki yang netral untuk bergabung dengan Poros
Roma-Berlin-Tokyo, menampung aspirasi mereka. Alasannya, karena orang-orang
Asia Tengah itu umumnya beragama Islam dan termasuk keturunan Turki, maka
diktator Jerman itu berharap dapat mempengaruhi Turki untuk kembali bersekutu
dengan Jerman seperti yang dilakukannya dalam Perang Dunia I. Sebagai alat
propaganda, Nazi menjanjikan bahwa para sukarelawan Asia Tengah itu akan
digunakan untuk membebaskan tanah airnya dan membantu pembentukan sebuah negara
Pan Turki sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pengikut Turanisme
yang menginginkan pembentukan sebuah Turki Raya yang menaungi semua orang
berdarah Turki.
Walaupun
Turki tidak terpengaruh oleh bujukan Jerman itu dan tetap netral hingga akhir
perang, rencana Hitler untuk membentuk formasi militer yang terdiri atas
orang-orang Asia Tengah tetap berjalan. Hasilnya adalah Legiun Turkestan, yang
terdiri atas para sukarelawan Turkoman, Uzbek, Kazakh, Kirghiz, Karakalpak dan
Tajik.
Pada
bulan Januari 1944, Heinrich Himmler, dengan dukungan Mufti Agung Yerusalem,
membentuk Osttuerkischen Waffen-Verbaende der SS (Formasi Turki Timur
Waffen SS) yang beranggotakan kaum Muslim dari Asia Tengah, Kaukasus
serta Krimea dan dipimpin oleh seorang perwira Austria yang masuk Islam,
Harun el Raschid Bey. Pembentukan unit ini nampaknya dikarenakan pemimpin SS
itu terkesan oleh dongengan mengenai keberanian orang Turkestan. Sayangnya,
unit tersebut tidak memenuhi harapan Himmler karena terus-menerus didera
masalah akibat rendahnya disiplin dan moral dari para anggotanya. Akibatnya
mereka dicatat sebagai sebuah unit kelas tiga, yang hanya bagus untuk
tugas-tugas keamanan ataupun penjagaan.
Macan
Kertas
Kelompok
Asia lainnya yang terbuka bagi suatu persekutuan dengan Kerajaan Ketiga adalah
orang India. Negeri anak benua itu telah bergolak selama bertahun-tahun sebelum
pecahnya Perang Dunia II untuk meraih kemerdekaan dari Inggris. Dengan demikian
adalah suatu hal yang logis apabila Nazi berusaha untuk mengambil keuntungan
dari sentimen anti-Inggris ini dengan berusaha merekrut sebuah formasi militer
yang terdiri atas para tawanan perang India yang ditangkap saat bertugas dengan
Tentara Persemakmuran Inggris di Afrika Utara.
Otak
di balik rencana ambisius Jerman ini adalah Subhas Chandra Bose, seorang
pengacara dari Kalkuta dan bekas presiden Kongres Nasional India serta saingan
utama Mahatma Gandhi dalam memperebutkan kepemimpinan gerakan nasionalis India.
Akan tetapi, tidak seperti Gandhi, Bose tidak segan-segan untuk menggunakan
kekerasan dalam memperjuangkan kemerdekaan India. Menggunakan pepatah lama
“musuh musuhku adalah kawanku”, Bose melihat perang antara Inggris-Jerman
sebagai kesempatan untuk mendorong kemerdekaan India.
Untuk
merealisasikan rencananya, pada bulan Januari 1941 Bose meloloskan diri dari
tahanan rumahnya di Kalkuta dan lari ke Berlin. Tidak lama setelah
kedatangannya di ibukota Jerman itu, Bose mengangkat dirinya sebagai Netaji,
atau Fuehrer, dari Pemerintahan India Merdeka dan mulai menyiarkan
hasutan lewat radio Jerman untuk mendorong rakyat India memberontak terhadap
penguasa Inggris. Namun Bose juga menginginkan pembentukan sebuah legiun India
yang dipersenjatai Jerman. Menurut impiannya, legiun tersebut akan menjadi
barisan terdepan Jerman yang menusuk Kaukasus. Dari sana, Legiun India akan
bergerak memasuki Iran, Afghanistan dan kemudian membebaskan tanah airnya.
Direkrut
dari bekas tawanan perang dan penduduk sipil India yang bermukim di Jerman,
Legiun India Merdeka secara resmi didirikan pada bulan Desember 1942. Tidak
seperti kebiasaan yang dipraktekkan Inggris dalam Tentara India, legiun yang
disponsori Jerman ini tidak mengenal pembedaan agama ataupun daerah asal
anggotanya. Hal ini tidak terlepas dari sikap Bose, yang meskipun secara
pribadi sangat religius namun tidak mau menggunakan simbol-simbol keagamaan
untuk tujuan politik. Hasilnya, dalam legiun tersebut orang Muslim, Hindu,
Sikh, Jain, Jat, Rajput, Maratha dan Garwali bisa berjuang bersama-sama.
Kekompakan tersebut bisa dilihat ketika kaum Muslim India menentang upaya
pemimpin SS Himmler untuk memindahkan mereka ke dalam sebuah divisi
SS yang beranggotakan kaum Muslim Bosnia. Orang-orang tersebut menolak
mentah-mentah rencana tersebut karena “menganggap dirinya terutama sebagai
orang India, sedangkan orang Bosnia sebagai orang Eropa.”
|
Anggota Legiun India berparade di hadapan S.C. Bose dan komandan legiun, Letnan Kolonel Krappe. |
Akan
tetapi ada juga hal yang ironis dari legiun yang nasionalis ini. Walaupun
secara resmi bahasa yang dipakai adalah Hindi, namun karena banyak anggotanya
yang tidak berasal dari daerah berbahasa Hindi maupun fakta bahwa Jerman nyaris
tidak memiliki personel yang bisa berbahasa tersebut sebagai penghubung,
akhirnya legiun tersebut lebih mengandalkan bahasa Inggris sebagai bahasa
penghubung.
Dalam
perjalanan hidupnya, legiun berlambang macan Bengali ini tidak pernah memenuhi
harapan pendirinya. Kekalahan Jerman di Rusia menggagalkan rencana Bose untuk
kembali ke tanah asalnya melalui kekuatan militer Nazi sehingga dia kemudian
pergi ke Asia untuk membentuk tentara India lainnya di bawah sponsor Jepang.
Pada tahun 1944, legiun yang ditinggalkannya di Eropa kemudian digabungkan ke
dalam Waffen SS. Hingga berakhirnya perang, unit tersebut hanya bertugas
sebagai garnisun penjaga maupun sebagai bahan propaganda yang nilai maupun
pengaruhnya bisa dipertanyakan.
Kebanyakan
perwira senior Jerman memandang rendah Legiun India ini. Sikap menghina Hitler
terhadap unit itu maupun sikap rasisnya terlihat pada pernyataannya menjelang
akhir perang. “Legiun India hanyalah sebuah lelucon,” demikian katanya, “Ada
orang India yang tidak bisa membunuh seekor kutu dan lebih memilih diri mereka
dibinasakan. Mereka tentu saja tidak akan mau membunuh orang Inggris….Saya bisa
membayangkan bahwa apabila seseorang menggunakan orang India untuk berdoa
terus-menerus ataupun hal lain yang sejenis, mereka akan menjadi prajurit yang
paling tidak terkalahkan di dunia. Namun adalah hal yang konyol untuk
mengerahkan mereka ke dalam suatu perjuangan berdarah yang nyata…”
Epilog
Menyerahnya
Jerman pada bulan Mei 1945 mengakhiri persekutuan yang aneh antara kaum
nasionalis Asia dan kaum rasialis Nazi Jerman. Berakhirnya perang membuat
orang-orang Asia yang bekerja sama dengan Nazi harus berhadapan dengan tuduhan
berkhianat terhadap pemerintah masing-masing.
Nasib
paling buruk menimpa para sukarelawan yang berasal dari Uni Soviet. Setelah
perang mereka dikembalikan ke negerinya, di mana banyak di antara mereka yang
kemudian dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi. Sisanya dicampakkan ke kamp-kamp
kerja paksa di Siberia, yang sama artinya dengan mati perlahan-lahan.
Orang
India bernasib lebih baik. Menjelang berakhirnya perang, Legiun India berusaha
meloloskan diri melalui celah pegunungan Alpen untuk mencari suaka politik di
Swiss. Akan tetapi mereka dicegat dan dipaksa menyerah oleh pasukan Amerika dan
Prancis di Bodensee. Mereka kemudian digelandang ke kamp-kamp tawanan dan
akhirnya dipulangkan ke India, di mana Pemerintah Inggris berusaha mengadili
mereka bersama-sama rekan-rekannya yang berdinas di bawah sponsor Jepang. Akan
tetapi tekanan dari kaum nasionalis India dan mendekatnya kemerdekaan negeri
tersebut akhirnya membuat Inggris membatalkan tuntutannya dan para tertuduh
dibebaskan.
Nasib
para sukarelawan Arab lebih kabur. Namun nampaknya sebagian besar di antara
mereka berhasil meloloskan diri dari jeratan hukum pihak Sekutu dan kembali ke
tanah airnya masing-masing atau tetap tinggal di Eropa.
Lalu
bagaimanakah nasib para tokoh Asia yang mendalangi persekutuan antara Timur dan
Barat itu?
Setelah
kembali ke Asia, Bose nyaris merealisasikan impiannya dengan memimpin sebuah
tentara India yang dipersenjatai Jepang memasuki tanah airnya melalui Myanmar
pada musim panas 1944. Akan tetapi mereka kemudian ditahan di Imphal oleh
Tentara India Inggris dan dihalau kembali ke Myanmar. Ketika Jepang menyerah,
Bose berusaha kabur ke Uni Soviet. Akan tetapi pesawat terbang yang
ditumpanginya jatuh terbakar. Bose sendiri tewas dalam kecelakaan tersebut.
Nasib
Haji Amin el Husseini lebih baik darinya. Pada akhir perang Mufti Besar
Yerusalem itu tertangkap oleh pasukan Prancis. Pada mulanya banyak orang yang
mengira bahwa dia akan diadili bersama para pemimpin Nazi lainnya di Nuremberg
dengan dakwaan terlibat dalam pembantaian terhadap orang Yahudi di Eropa maupun
menjadi otak perekrutan kaum Muslim dalam Tentara Hitler. Akan tetapi baik
Prancis maupun Inggris, yang tidak mau membuat masalah dengan kaum Muslim
yang berada di wilayah jajahan mereka, membiarkan sang mufti meloloskan diri ke
Timur Tengah. Dia kemudian memimpin kembali perjuangan orang Arab Palestina
yang menentang pembentukan negara Israel. Sayangnya, cap kolaborator Nazi yang
melekat pada dirinya menurunkan dukungan banyak negara terhadap orang
Palestina. Kalah dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 serta
keterlibatannya dalam pembunuhan Raja Abdullah dari Yordania akhirnya membuat
Husseini tersingkir dari panggung politik. Dia kemudian mengasingkan diri ke
Lebanon dan meninggal di Beirut pada tahun 1974.